Setiap tanggal 9 Februari, keluarga besar pers nasional merayakan Hari Pers Nasional (HPN) yang bertepatan dengan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).Â
Karena hampir semua hal menjadi objek berita pers, maka boleh dikatakan banyak pula pihak yang ikut merayakan, atau paling tidak mengucapkan selamat merayakan HPN.
Tak heran kalau Presiden Joko Widodo, di tengah kesubukannya yang amat padat, menyempatkan diri menghadiri dan memberikan kata sambutan pada perayaan HPN tahun ini yang dipusatkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Berbicara mengenai pers, ada banyak komponen yang terlibat di dalamnya. Tapi tak diragukan lagi, pemain utamanya adalah para wartawan yang disebut juga dengan jurnalis.Â
Tak salah kalau HPN yang dirayakan sejak tahun 1985 memilih tanggal kelahiran PWI sebagai dasar pertimbangan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 tentang penetapan HPN.
Jadi, maju mundurnya pers Indonesia sangat tergantung dengan kompetensi yang dimiliki para jurnalis. Paling tidak ada tiga syarat utama sebagai modal bagi seseorang dalam meniti karir, termasuk di kalangan jurnalis.
Ketiga hal tersebut ialah punya integritas yang tinggi, pengetahuan yang luas dan skill atau keahlian yang mumpuni sesuai bidang yang digelutinya.
Khusus di tulisan ini, saya menitikberatkan pembahasan pada aspek pengetahuan. Dalam hal ini sebaiknya para jurnalis jangan pernah berhenti untuk menimba ilmu, secara formal ataupun informal.
Hal ini semakin penting mengingat betapa cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa sekarang. Bila para jurnalis tidak begitu memahami objek yang ditulisnya, maka masyarakat akan mendapatkan informasi yang keliru.
Kebetulan saya dulu cukup lama bertugas menyiapkan laporan keuangan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang keuangan.Â
Laporan keuangan merupakan indikator utama dalam menilai perkembangan suatu perusahaan. Khusus untuk perusahaan di bidang keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan adanya publikasi laporan keuangan setiap triwulan.
Karena perusahaan tempat saya bekerja sudah go public, maka setiap triwulan tersebut, ada dua agenda yang saya terlibat dalam menyiapkan materinya.Â
Pertama mengundang para jurnalis, tentu yang bertugas di desk ekonomi, untuk menghadiri konferensi pers dengan topik pemaparan kinerja keuangan perusahaan.
Kemudian ada lagi acara lain yang terpisah, tapi topik yang dibahas sama, yang khusus dihadiri para analis dari perusahaan sekuritas. Salah satu fungsi perusahaan sekuritas adalah menyusun rekomendasi bagi para nasabahnya tentang saham perusahaan mana yang sebaiknya dibeli, dijual, atau ditahan sementara.
Nah, tanpa mengurangi rasa hormat pada para jurnalis, terlihat sekali betapa berbedanya cara direksi perusahaan dalam menghadapi kedua acara di atas.Â
Terhadap para analis, direksi sangat serius menyimak pertanyaannya. Terkadang anggota direksi terlihat tegang, bila analis menemukan sesuatu yang janggal saat membedah laporan keuangan yang dipaparkan direksi perusahaan.
Namun terhadap para jurnalis, semua anggota direksi terlihat hepi, wajah mereka berseri, karena sadar mereka sedang disorot kamera. Tak lama setelah itu, wajah para direksi akan muncul di berbagai media.
Tapi kecerahan wajah direksi tidak semata karena disorot kamera, namun juga karena relatif jarangnya para jurnalis mengajukan pertanyaan yang menyulitkan direksi untuk menjawabnya.
Bahkan banyak para jurnalis yang telah merasa cukup bahan untuk menulis berita hanya berdasarkan press release yang dibagikan di acara tersebut.
Para pejabat perusahaan biasanya baru akan menghindar dari jurnalis, bila telah terkuak ada kasus yang mencoreng citra perusahaan. Dan biasanya bukan jurnalis yang paling awal mencium adanya kasus.Â
Namun setelah kasus mencuat, memang para jurnalis lah yang paling gigih mencari sumber berita. Wajar, soalnya berita hangat seperti ini juga dicari banyak pembaca atau pemirsa.
Dalam laporan keuangan, ada istilah yang akhir-akhir ini sering muncul di media, yakni apa yang disebut dengan window dressing. Hal ini berkaitan dengan laporan keuangan beberapa perusahaan, misalnya yang terungkap adalah di Garuda Indonesia dan juga di Jiwasraya, yang bisa "menyulap" kondisi rugi menjadi terlihat untung.
Nah, trik untuk "menyulap" laporan keuangan itulah yang disebut dengan window dressing. Para analis banyak yang memahami trik-trik dalam laporan keuangan, makanya direksi perusahaan sangat hati-hati menghadapi analis.
Tapi tidak begitu dengan para jurnalis, walaupun mereka jurnalis di bidang ekonomi. Rata-rata para jurnalis adalah lulusan S1 dari berbagai disiplin ilmu.Â
Namun itu saja tidak cukup. Jurnalis harus rajin membaca. Akan lebih baik lagi bila media tempat jurnalis bekerja, memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau kursus singkat, minimal sekali setahun.
Tentu ini tidak hanya berlaku pada jurnalis bidang ekonomi saja. Pada hakikatnya semua jurnalis dituntut untuk tidak pernah berhenti menimba ilmu.
Dengan demikian kontribusi para jurnalis dalam mencerdaskan bangsa dan juga memberikan masukan yang konstruktif kepada pemerintah, dunia usaha, atau pihak lainnya, akan lebih meningkat.
Jangan gampang terlena dengan predikat pers sebagai pilar demokrasi keempat, setelah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Predikat itu akan terpelihara bila pers memang membuktikan diri punya kemampuan setara dengan tiga pilar yang utama.
Memang sekarang ini, beberapa media besar seperti grup Kompas Gramedia, grup Majalah Tempo, punya jurnalis yang berkualitas, karena sering diberi kesempatan menambah pengetahuan.
Tapi secara keseluruhan, para jurnalis di negara kita perlu memacu diri untuk meningkatkan kemampuannya, terutama dengan terus menerus belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H