Kebetulan saya baru saja membaca sebuah berita di kompas.id (11/5/2020) tentang terimpitnya sektor properti karena dampak pandemi Covid-19. Pukulan terhadap sektor properti tidak hanya dari pasokan yang melambat, tapi juga penyerapan pasar yang berkurang.
Banyak dari pasangan muda yang sudah mempunyai rencana untuk mencari rumah dengan berburu informasi seputar proyek perumahan yang sedang dibangun atau yang telah siap untuk dijual, membatalkan rencananya.Â
Demikian pula mereka yang berniat mengajukan permohonan kredit kepemilikan rumah yang ditawarkan sejumlah bank, terpaksa mengurungkan niatnya karena ingin melihat apa yang akan terjadi dengan pandemi Covid-19 ini.
Jadi, sebagian besar calon konsumen perumahan menerapkan taktik wait and see, tak ingin terikat dengan persetujuan pembelian rumah, apalagi dengan memanfaatkan fasilitas kredit bank, di tengah kekhawatiran apakah penghasilan mereka akan mengalami penurunan atau tidak.
Demikian pula yang dilakukan perusahaan pengembang (developer) berbagai proyek properti. Banyak yang memilih strategi wait and see pula, dan bahkan membiarkan proyek yang tengah dikerjakan menjadi terbengkalai.
Saya teringat dengan draft tulisan saya yang berkaitan dengan bisnis properti. Tulisan itu sudah lama saya simpan, menunggu momen yang tepat untuk penayangannya.Â
Tapi bencana pandemi Covid-19 yang memaksa beberapa daerah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), membuat terjadinya kelesuan pada bisnis properti, seperti juga kelesuan pada bisnis lain secara umum. Akibatnya, tulisan dengan topik properti mungkin kurang relevan.
Dari pada terlalu lama saya simpan, maka akhirnya saya tayangkan saja. Ceritanya begini, kebetulan sebelum Covid-19 masuk ke negara kita, tepatnya akhir Januari 2020 lalu, saya berkunjung ke Pekanbaru, untuk keperluan keluarga.
Ada dua orang saudara saya, yang masing-masingnya sudah punya rumah kediaman di Pekanbaru, mengajak saya jalan-jalan ke pinggir kota, di daerah batas kota arah ke barat. Â Seorang saudara saya membeli satu kapling tanah kosong, sedangkan saudara saya yang satu lagi membeli sebuah rumah kecil yang masih dalam tahap pembangunan.
Dua lokasi yang saya kunjungi itu, sama saja kondisinya, dalam arti lokasinya agak jauh dari jalan utama, sekitar 1,5 km dan 2 km. Kebetulan saya juga melewati beberapa komplek perumahan berukuran kecil lainnya, yang juga sama masalahnya, kondisi jalan untuk bisa mencapai komplek relatif parah.
Ironisnya, meskipun rumah-rumah yang dibangun kelihatan sudah hampir rampung, sayangnya akses ke sana masih dibiarkan belepotan. Jalan menuju ke sana masih belum diaspal. Kontur tanahnya bergelombang dan banyak lobang. Lebar jalan juga sangat pas-pasan, bila ada dua kendaraan roda empat berpapasan, salah satu harus mengalah dengan menepi ke semak-semak di pinggir jalan.