Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mewujudkan Janji Kampanye Bikin Mules Sri Mulyani

10 Februari 2020   10:10 Diperbarui: 10 Februari 2020   10:20 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. wartaekonomi.co.id

Janji kampanye adalah jualan utama dalam kontestasi pilpres atau pilkada. Jika banyak program yang menggratiskan rakyat untuk mendapatkan sesuatu atau yang memberikan bantuan keuangan bagi masyarakat yang masuk kelompok kurang mampu, tentu menjadi daya pikat tersendiri.

Sewaktu mengucapkan janji kampanye, mungkin saja belum melalui studi yang mendalam, kira-kira bila nanti dipilih oleh rakyat, apakah janji itu realistis atau justru masuk kategori too good to be true.

Tapi bagaimanapun juga, janji kampanye adalah utang yang harus dilakukan. Jika tidak, tentu reputasi pejabat yang menerima amanah dari rakyat banyak akan turun.

Nah, baru-baru ini muncul berita yang berkaitan dengan dampak negatif dari pemenuhan janji kampanye. Khususnya janji dari pasangan Jokowi-Ma'ruf pada kampanye pilpres 2019 lalu.

Karena janji-janji itulah yang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani merasa mules. Ya, istilah mules biasanya diartikan sebagai sakit perut. Bisa karena terlalu banyak makan makanan yang pedas atau asam. Bisa juga karena masuk angin.

Tapi kalau boleh ditafsirkan, Sri Mulyani bukan menderita sakit perut gara-gara harus mengalokasikan anggaran bagi program pemerintah yang dulu pernah dijanjikan saat kampanye.

Agaknya lebih tepat disebutkan bahwa dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani dibikin pusing bagaimana caranya memenuhi janji kampanye.

Seperti dilansir dari detik.com, Sri Mulyani sempat mengucapkan kalimat seperti ini; "Saya sakit perut terus, duh menjanjikan apalagi ini. Janji ini, janji itu,"  ujarnya dalam acara laporan Bank Dunia di Energy Building, Jakarta, Kamis (30/1/2020) lalu.

Memang jadi pertanyaan, pernyataan spontan Sri Mulyani yang mirip orang lagi curhat itu, sebenarnya ditujukan untuk siapa? Kritik terhadap Presiden Jokowi yang notabene adalah bosnya? Apakah sedemikian beraninya Sri Mulyani?

Atau bisa juga hanya keseleo lidah, yang awalnya sekadar bercanda. Tapi akhirnya setelah muncul sebagai berita, mungkin jadi penyesalan bagi ibu menteri yang pernah dapat predikat sebagai menteri keuangan terbaik se-Asia Pasifik itu.

Soalnya ada yang memberikan tanggapan keras, agar Sri Mulyani dipecat saja oleh Presiden Jokowi. Komentar ini datang dari politisi Partai Gerindra, Iwan Sumule, melalui akun twitternya (gelora.co, 30/1/2020).

Salah satu janji kampanye Jokowi-Ma'ruf  yang diduga memusingkan Sri Mulyani sebagai bendahara negara adalah memberikan kartu pra-kerja kepada sekitar 2 juta penduduk dengan alokasi anggaran lebih kurang Rp 10 triliun.

Hanya saja belum terbetik berita bagaimana tanggapan Jokowi sendiri atas "mules"-nya salah menteri andalannya itu. Disebut andalan, karena Sri Mulyani mampu bersikap tegas dalam menegakkan disiplin anggaran, walaupun akibatnya Sri Mulyani kurang mesra hubungannya dengan tokoh-tokoh partai politik.

Tidak terdengar kabar apakah Sri Mulyani ditegur Presiden, atau malah kepusingan Sri Mulyani dapat dimengerti oleh Presiden Jokowi?

Kalaupun Presiden bisa memahami, bukan berarti tim kampanye Jokowi-Ma'ruf boleh dibilang asal-asalan dalam merancang janji kampanye saat pilpres lalu. 

Paling tidak, menurut taksiran semula, janji tersebut tidak akan terlalu signifikan menambah beban anggaran negara. Namun dalam perkembangannya kemudian, bisa jadi ada hal yang tidak terduga yang harus diprioritaskan dalam penyusunan anggaran negara.

Memang dengan anggaran negara yang terbatas, dan sebagian besar terserap untuk gaji pegawai negeri serta belanja rutin pemerintah, termasuk pula untuk mencicil pembayaran utang berikut bunganya, praktis tidak banyak ruang untuk program baru yang sifatnya charity. 

Justru karena terdesak oleh pemasukan negara yang terbatas itulah, kenapa harga gas ukuran 3 kg tidak lagi disubsidi. Iuran BPJS Kesehatan dinaikkan, cukai rokok dinaikkan, dan sebagainya, yang menambah beban masyarakat.

Tapi penambahan beban itu diperlukan demi tidak jebolnya keuangan negara, yang nantinya kembali akan bergulir untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ibaratnya, rakyat harus menelan pil pahit agar sehat.

Memang sepertinya tidak adil, kalau rakyat makin banyak berkorban, namun para koruptor masih berpesta pora. Maka pengorbanan rakyat harus pula diimbangi dengan pemasukan yang lebih besar yang berasal dari perburuan harta hasil korupsi.

Jadi, antara janji politik di satu pihak dengan disiplin anggaran di pihak lain, tidak harus dilihat sebagai hal yang bertolak belakang. Pasti dengan kemampuannya yang telah teruji, Sri Mulyani dan jajarannya di Kementerian Keuangan, mampu mencari titik temunya, sehingga sakit perut ibu menteri bisa sembuh. 

Tapi untuk konteks pilkada yang akan digelar di banyak daerah pada tahun ini, sebaiknya para calon kepala daerah jangan coba-coba mengumbar janji yang terlalu manis, jika tidak jelas bagaimana cara memenuhinya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun