Suatu kali di hari Minggu siang, istri saya bermaksud untuk membuang sampah ke bak sampah di depan rumah, padahal ia juga sedang memasak sesuatu di dapur.Â
Untuk bisa membuang sampah ke bak sampah, istri harus mengambil kunci yang ditaruh di dalam laci lemari yang ada di ruang tengah, agar bisa membuka gembok pagar depan.
Masalahnya, begitu selesai membuang sampah, istri saya sibuk memasak, tanpa mengembalikan kunci ke dalam laci, yang sudah menjadi prosedur baku di rumah saya.
Maka, begitu saya mau ke masjid untuk menunaikan salat zuhur berjamaah, saya lihat di laci tidak ada kunci. Di dapur juga tidak ada. Sedangkan istri saya lupa menaruh kunci di mana.
Meskipun saya menyimpan kunci cadangan di tempat lain di dalam kamar, saya tetap merasa perlu menegur istri saya, bahwa kelalaian ini bukan kejadian yang pertama.
Saya sudah mencoba untuk tidak emosi, namun tetap saya tidak puas kalau sekali saja menegur istri atas kelalaiannya itu. Setelah satu kali menegur sebelum ke masjid, sepulang dari masjid saya menegur lagi sebanyak dua kali, setelah mengetahui bahwa kunci itu masih belum ditemukan.
Seperti biasa, istri saya hanya bisa diam saja, karena memahami bahwa dialah yang teledor. Berbeda bila kesalahannya di pihak saya, gantian istri yang ngomel dan saya yang diam.
Mungkin kalau diukur dalam rupiah, kehilangan kunci tidak bernilai besar. Toh bisa digandakan lagi. Tapi ya itu tadi, sulit saya membuang rasa kecewa.
Saya pikir saya saja yang tak puas dan merasa belum cukup bila hanya satu kali menegur istri. Baru-baru ini adik saya juga mendapat perlakuan yang sama dari suaminya di depan saya sendiri.
Ceritanya begini, saya dan istri ke Pekanbaru untuk bertemu dengan adik saya dan suaminya. Lalu kami berempat akan ke rumah seseorang untuk sebuah urusan penting.
Merasa karena sudah janjian dengan seseorang itu satu minggu yang lalu, adik saya baru menghubungi lagi via telepon setelah menjemput saya ke bandara Pekanbaru.