Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

BCA Caplok Rabobank, Bangkok Bank Caplok Bank Permata

26 Desember 2019   00:08 Diperbarui: 26 Desember 2019   00:10 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. cnbcindonesia.com

Musim caplok mencaplok bank mulai semarak lagi. Ada bank asing yang mencaplok bank domestik, tapi terjadi pula hal yang langka, yakni bank domestik mencaplok bank asing.

Kompas (14/12/2019) memberitakan bahwa proses akuisisi 89,12 persen saham PT Bank Permata oleh Bangkok Bank Public Company Ltd, telah tuntas, sesuai penegasan dari Direktur Utama Bank Permata, Ridha DM Wirakusumah.

Adapun 89,12 persen saham di atas, sebelumnya terdiri dari sebagian saham milik Astra Internasional Tbk dan sebagian lagi milik Standard Chartered PLC. 

Jika dalam kasus Bank Permata, bank asing sebagai pihak yang mencaplok, maka ada pula bank asing yang dicaplok oleh bank  swasta nasional. 

Bank asing dimaksud adalah Rabobank Indonesia yang dimiliki oleh grup Rabobank asal Belanda, yang 99,99 persen sahamnya diakuisisi oleh Bank Central Asia (BCA).

Seperti dilansir dari harian Kontan (12/12/1019), menurut Direktur Utama BCA, Jahja Setiaatmadja, Rabobank bakal di-merger atau digabungkan dengan salah satu anak perusahaan BCA.

Tak disebutkan anak perusahaan mana yang akan digabungkan dengan Rabobank. Tapi mengingat yang mengakuisisi Rabobank adalah BCA Finance, kuat dugaan BCA Finance juga yang akan merger dengan Rabobank.

Sebelumnya, pada April 2019, BCA juga telah mencaplok Bank Royal. Jadi dalam tahun 2019, 2 bank telah dicaplok BCA. Kabarnya Bank Royal akan difokuskan oleh BCA sebagai digital bank.

Semakin ekspansifnya BCA, termasuk dengan cara mengakuisisi bank lain, jelas akan memperbesar total asetnya. Sejauh ini BCA adalah bank swasta terbesar di tanah air, namun masih di bawah dua bank milik negara, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri.

Setelah mengakuisisi dua bank di atas pun, diperkirakan jumlah aset BCA masih di bawah dua bank milik negara tersebut, namun gap-nya semakin mengecil.

Melihat sepak terjang BCA selama ini, tampak bahwa BCA bukan bank yang tergoda untuk ikut-ikutan mengejar predikat bank dengan aset terbesar.

BCA lebih mementingkan kinerja keuangan dalam arti luas, tidak semata soal ukuran aset. Makanya BCA lebih menonjol dari sisi efisiensi.

Unsur pendapatannya pun tidak terlalu dominan dari pendapatan bunga yang dibayarkan oleh nasabah perkreditan, tapi dari fee based atas lalu lintas transaksi antar nasabah.

Tak ada yang menyangsikan betapa jagonya BCA sebagai transaction banking. Fitur layanan yang sangat banyak yang memanjakan nasabah, menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi kalangan muda perkotaan yang sudah melek teknologi.

Namun tak dapat dipungkiri, ketergantungan BCA akan kesiapan perangkat teknologi dan jaringannya, menimbulkan risiko tersendiri, bila suatu saat terkena gangguan sistem atau jaringan.

Selain itu penetrasi BCA ke daerah pelosok relatif sangat kurang. Makanya untuk masyarakat pedesaan, bank yang tersedia hanya Bank Rakyat Indonesia dan Bank Pembangunan Daerah.

Tak heran kalau pegawai negeri yang jarang bertransaksi selain menerima dan mengambil gaji, tetap merasa nyaman menjadi nasabah bank pemerintah.

Namun pegawai negeri atau pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tinggal di kota besar, banyak yang memilih mentransfer uang dari gaji yang diterimanya melalui bank pemerintah setiap bulan ke rekeningnya di BCA, agar memudahkan dalam bertransaksi.

Kembali ke soal caplok mencaplok bank, selain menyangkut BCA dan Bangkok Bank, tahun ini juga ditandai dengan semakin berkibarnya bank asal Jepang di negara kita.

Bank Sumitomo Mitsui Indonesia awal tahun 2019 berhasil mengakuisisi Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), kemudian diikuti bank asal Jepang lainnya, Bank Mitsubishi, yang mengakuisisi Bank Danamon.

Hal tersebut membuktikan bahwa industri perbankan nasional masih menggiurkan bagi bank asing. Namun demikian tidak otomatis perbankan kita dikuasai oleh asing.

Sejauh ini bank-bank BUMN serta bank swasta nasional yang kuat seperti BCA menunjukkan bahwa mereka tidak takut bersaing dengan bank-bank yang dimiliki pihak asing.

Namun bagaimana dengan kondisi tahun 2020 mendatang? Fenomena akuisisi bank diduga masih marak mengingat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang mendorong hal tersebut agar jumlah bank tidak lagi terlalu banyak. 

Jumlah bank yang terlalu banyak akan menyulitkan OJK dalam melakukan pengawasan. Tapi bila akuisisi akhirnya membuat semakin banyak bank domestik yang diambil alih bank asing, tentu lama-lama akan mengubah peta perbankan nasional.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun