BCA lebih mementingkan kinerja keuangan dalam arti luas, tidak semata soal ukuran aset. Makanya BCA lebih menonjol dari sisi efisiensi.
Unsur pendapatannya pun tidak terlalu dominan dari pendapatan bunga yang dibayarkan oleh nasabah perkreditan, tapi dari fee based atas lalu lintas transaksi antar nasabah.
Tak ada yang menyangsikan betapa jagonya BCA sebagai transaction banking. Fitur layanan yang sangat banyak yang memanjakan nasabah, menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi kalangan muda perkotaan yang sudah melek teknologi.
Namun tak dapat dipungkiri, ketergantungan BCA akan kesiapan perangkat teknologi dan jaringannya, menimbulkan risiko tersendiri, bila suatu saat terkena gangguan sistem atau jaringan.
Selain itu penetrasi BCA ke daerah pelosok relatif sangat kurang. Makanya untuk masyarakat pedesaan, bank yang tersedia hanya Bank Rakyat Indonesia dan Bank Pembangunan Daerah.
Tak heran kalau pegawai negeri yang jarang bertransaksi selain menerima dan mengambil gaji, tetap merasa nyaman menjadi nasabah bank pemerintah.
Namun pegawai negeri atau pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tinggal di kota besar, banyak yang memilih mentransfer uang dari gaji yang diterimanya melalui bank pemerintah setiap bulan ke rekeningnya di BCA, agar memudahkan dalam bertransaksi.
Kembali ke soal caplok mencaplok bank, selain menyangkut BCA dan Bangkok Bank, tahun ini juga ditandai dengan semakin berkibarnya bank asal Jepang di negara kita.
Bank Sumitomo Mitsui Indonesia awal tahun 2019 berhasil mengakuisisi Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), kemudian diikuti bank asal Jepang lainnya, Bank Mitsubishi, yang mengakuisisi Bank Danamon.
Hal tersebut membuktikan bahwa industri perbankan nasional masih menggiurkan bagi bank asing. Namun demikian tidak otomatis perbankan kita dikuasai oleh asing.
Sejauh ini bank-bank BUMN serta bank swasta nasional yang kuat seperti BCA menunjukkan bahwa mereka tidak takut bersaing dengan bank-bank yang dimiliki pihak asing.