Partai Amanat Nasional (PAN) lahir bersamaan dengan dimulainya era reformasi. Partai ini mendapat label reformis dan digadang-gadang sebagai partai yang dikelola secara modern dan cerdas.
Sayangnya, para deklarator PAN yang berasal dari berbagai kelompok masyarakat yang mewakili banyak profesi, serta mencerminkan keberagaman Indonesia, satu persatu hengkang dari partai.
Pada saat didirikan 23 Agustus 1998 tercatat 50 nama sebagai deklarator. Di antaranya adalah Goenawan Mohammad, Amien Rais, Abdillah Toha, Rizal Ramli, Albert Hasibuan, Emil Salim, Toety Heraty, Faisal Basri, Bara Hasibuan, Alvin Lie, Zoemrotin, dan sebagainya.
Semua nama di atas adalah para intelektual atau cendikiawan. Ada yang tokoh pers, mantan menteri, pengajar di perguruan tinggi, dan sebagainnya.
Tapi coba teliti sekarang ini, dari sekian banyak deklarator tersebut, siapa saja yang masih aktif di PAN selain Amien Rais. Artinya, sangat mungkin sebagian pendiri menilai PAN sudah melenceng dari visi semula, sehingga mereka memilih hengkang.
Bisa jadi karena banyak pendiri yang meninggalkan, akhirnya PAN lebih menyempit segmennya dan cenderung dianggap partainya orang-orang Muhammadiyah.Â
Apalagi sampai sekarang Amien Rais yang pernah memimpin Muhammadiyah, masih menjadi sosok kunci di PAN. Meskipun posisinya saat ini hanya Ketua Dewan Kehormatan.
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam terkemuka di Indonesia di samping Nahdlatul Ulama (NU). Hanya saja NU sering diberi label Islam tradisional oleh para pengamat, sedangkan Muhammadiyah disebut Islam modern.
Namun harus diakui jumlah massa Muhammadiyah kalah jauh dibanding NU. Makanya tak heran kalau PAN tetap saja terbilang partai gurem.Â
Bahkan pada pileg 2019, PAN hanya menduduki peringkat 8, kalah dari partai berbasis Islam lain, PKB dan PKS. Hanya unggul dari partai Islam PPP.Â
Sekarang PAN hanya punya wakil 44 orang di DPR-RI, sama dengan 7,65 persen dari total kursi. Tapi dari perolehan suara yang dikumpulkan, lebih kecil lagi, yakni 6,84 persen.