Kenyamanan saya bekerja dalam sebuah tim yang terdiri dari 6 orang dengan kedudukan yang setara, sedikit terusik dengan masuknya seorang anggota baru, menggantikan seorang anggota lama yang mengundurkan diri karena sakit kronis.
Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa di antara kami ada seseorang yang terkenal vokal dalam berbicara. Ia sering melontarkan pendapat yang kalau dibantah oleh yang lain, akan mengakibatkan debat kusir yang emosional, persis gaya debat antar politisi di layar kaca.
Makanya selama ini terhadap si vokalis itu, saya dan juga teman lain, sering mengiyakan terlebih dahulu pendapat si Heni Simanjuntak, nama vokalis tersebut.
Dari namanya, ketahuan kalau ia orang Batak. Tapi saya tidak mengatakan bahwa orang Batak pasti vokalis, karena ada banyak teman Batak saya yang "halus".
Jika si Heni itu ngomong soal di luar pekerjaan, seperti mengomentari berita yang lagi viral di media sosial, saya sepenuhnya membiarkan saja.Â
Walaupun dalam hati ada yang tidak saya setuju, rasanya tidak perlu saya kemukakan, demi kekompakan bersama. Toh menurut saya, kebebasan berpendapat adalah hak semua orang.
Namun bila Heni berkomentar tentang tugas kantor, atau lebih khusus lagi yang menyerempet apa yang saya kerjakan, tentu saya harus menunjukkan sikap.
Tapi tetap saja pola dasar gaya komunikasi saya tidak membantah secara frontal. Dalam hal ini, saya memakai rumus "ya tapi".
Maksudnya, awalnya saya akan bilang "ya", dengan mengulang kembali pernyataannya. Kemudian saya ulas dulu hal yang saya sepakat.
Lalu untuk hal yang saya tidak sepakat, saya sampaikan pula bahwa meskipun saya bisa memahami pendapatnya yang melihat dari sisi tertentu, saya tambahkan agar ia juga mempertimbangkan untuk melihat dari sisi yang saya lihat.
Biasanya setelah itu, terlepas apakah Heni sepenuhnya menerima pandangan saya atau tidak, yang jelas gayanya yang keras jadi mulai melunak.