Lazimnya, pejabat tersebut berasal dari deputi atau yang setara di Kementerian BUMN dan dirjen atau yang setara di Kementerian Keuangan. Selain itu juga ada yang berasal dari mantan pejabat Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan guru besar di Perguruan Tinggi Negeri.
Tentu ada kemungkinan pula para komisaris tersebut diangkat karena kedekatannya dengan petinggi partai koalisi pendukung pemerintahan, atau mantan tim sukses sewaktu kampanye pilpres sebelumnya.
Kehilangan jabatan komisaris BUMN bagi pejabat aktif di kementerian, jelas menghilangkan sumber rezeki yang besar, bahkan melampaui gaji resmi mereka sebagai pejabat kementerian.
Tapi itulah mekanisme yang diambil Erick. Justru para deputi menteri dimutasi oleh Erick menjadi direksi di BUMN. Contohnya Wahyu Kuncoro, yang menjabat Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, dimutasi menjadi Wakil Direktur Utama PT Pegadaian (Persero). Ada beberapa deputi lagi yang senasib.
Mutasi tersebut di atas sekaligus berarti membuat Wahyu harus melepaskan jabatan lainnya sebagai Wakil Komisaris Utama di bank yang paling besar perolehan labanya di Indonesia sejak 14 tahun lalu, BRI.
Adapun bagi jajaran direksi bank-bank BUMN (selain BTN yang sudah dirombak), di samping cemas bila dicopot dari kursinya, andaipun tetap dipertahankan mungkin juga punya kecemasan lain.
Kecemasan lain dimaksud adalah bila komisaris utama di banknya diganti oleh figur setipe dengan Ahok yang menjadi Komisaris Utama Pertamina atau Chandra Hamzah di BTN.
Kedua sosok di atas diyakini tidak seakomodatif komisaris yang selama ini bertugas di bank-bank BUMN, karena cenderung setuju dengan apapun rencana direksi dan setuju pula dengan laporan realisasi dari rencana bisnis itu.
Kalaupun ada sedikit perbedaan pendapat, komisaris hanya memberikan catatan atas hal-hal yang perlu mendapat perhatian direksi. Jadi pola respon komisaris terhadap laporan direksi biasanya gampang terbaca, yakni : "setuju dengan beberapa catatan".
Jelas, irama kerja seperti itu adalah irama yang win-win, direksi gembira, komisaris juga senang. Tapi gara-gara itu mungkin prestasi bank BUMN belum terpacu untuk meraih kinerja yang lebih baik ketimbang apa yang dicapai sekarang.
Pertanyaannya, apakah pola perombakan seperti di BTN akan menjadi standar yang juga bakal diterapkan di bank-bank BUMN lainnya?