Saya sering kesal kalau lagi membaca berita di media daring. Saat saya mengklik berita lanjutan, eh yang nongol iklan. Saya ulangi lagi dengan mengklik di tempat yang betul, tetap saja yang muncul iklan.
Iklan tersebut ada yang muncul di bagian paling atas dalam ukuran besar, menutup judul dan alinea pertama berita. Memang ada tulisan untuk men-scroll bila tidak ingin membaca iklan. Tapi begitu di-scroll, iklannya kokoh tidak bergerak.
Ribetnya, seperti sudah menjadi standar dalam berita daring, untuk berita yang sebetulnya relatif pendek, sengaja dipenggal jadi beberapa halaman. Setiap berpindah halaman, itu berarti pembaca harus ikhlas melihat iklan lagi.
Ada pula iklan berupa video yang muncul di berbagai sudut dengan tombol untuk mengklik agar iklan bisa hilang setelah lima detik. Pokoknya kenyamanan pembaca betul-betul diganggu oleh iklan.
Sangat berbeda dengan iklan di media arus utama. Di koran atau majalah misalnya, pembaca sama sekali tidak terganggu. Bahkan tidak sedikit iklan yang mencuri perhatian, sehingga berhasil menahan keinginan pembaca agar tidak buru-buru berpindah halaman.
Begitu pula iklan di televisi. Kalau pemirsa merasa terganggu, tinggal ganti saluran saja. Ternyata saluran lain juga lagi iklan. Eh rupanya sebagian iklan televisi menarik juga, karena tidak langsung ngomong produk.
Sebagai contoh, ada iklan teh celup, yang intronya adalah pertemuan dua keluarga yang akan berbesanan. Awalnya mereka bertengkar saat membahas adat mana yang akan dipakai untuk acara resepsi pernikahan anak-anak mereka.
Tapi begitu ada yang menghidangkan secangkir teh bagi masing-masingnya, semua jadi mampu berpikir jernih tanpa bertengkar lagi.
Jadi, di media konvensional, sangat jelas pemisahan iklan dengan tayangan berita atau acara lainnya. Sehingga tidak terlihat ada unsur pemaksaan bagi pembaca atau pemirsa untuk memperhatikan iklan.
Berbeda dengan iklan di media daring yang menyatu dengan konten berita atau konten lainnya. Tidak berlebihan bila ada yang merasa dipaksa untuk memperhatikan iklan.Â
Bahkan ada yang merasa diteror, mungkin saking jengkelnya. Memang ada tanda silang untuk menutup iklan. Tapi tanda silang yang kecil itu tidak gampang ditemukan.
Walaupun dibenci oleh pembaca, harus diakui keberadaan iklan sangat dicari oleh pengelola media daring. Dengan apa mereka menutup biaya operasional bila bukan dari iklan.
Bayangkan, agar suatu berita tersaji di hadapan pembaca, bukankah jurnalisnya perlu ke lapangan dulu dan mencari referensi yang relevan. Kemudian menuliskannya, diedit dan ditayangkan.
Dengan apa pengelola membayar gaji para jurnalis, editor, staf pemasaran, sewa kantor, membeli atau menyewa peralatan, dan sebagainya?
Akhirnya tak bisa tidak, kita harus berdamai dengan iklan. Hitung-hitung anggap saja itulah "harga" yang harus kita bayar untuk membaca berita. Jangan berharap semuanya gratis.
Sekesal-kesalnya saya dengan iklan di media daring, sejauh ini belum terpikirkan untuk memasang fitur yang bisa memblokir iklan. Saya memilih berdamai, bukan berperang.Â
Begitulah memang cara perusahaan agar bisa berkembang, harus dengan beriklan, terlepas dari iklan seperti apa yang digunakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H