Sebagian dari pedagang bergerobak tersebut berjualan makanan untuk sarapan pagi. Ini termasuk yang banyak dicari pengunjung, seperti pedagang lontong sayur, aneka gorengan dan bubur ayam.
Semakin crowded jalan di depan pasar, bagi saya malah semakin asyik. Meskipun laju kendaraan yang saya tumpangi jadi tersendat. Soalnya itu tadi, saya jadi punya kesempatan lebih lama melihat geliat pasar dan kalau perlu membuka kaca untuk menghirup aromanya.
Tapi kenapa saya tidak langsung saja masuk ke dalam pasar? Kenapa harus menikmati dari balik kaca? Karena saya termasuk korban kemajuan zaman dengan pola belanja setiap dua minggu di pasar swalayan.
Lagipula saya juga tidak tega kalau masuk pasar sampai ke bagian dalam. Karena banyak cerita sedihnya, melihat sepinya pengunjung. Yang ramai di bagian depan saja.
Pernah saya memotong bagian bawah celana panjang yang saya beli di sebuah mal ke tukang jahit di pasar tradisional. Akhirnya malah jadi mendengar curhat tentang sepinya pasar.
Memang, pasar tradisional sedang menuju senjakala. Makanya selagi masih menggeliat saat saya intip dari balik kaca, saya masih bergembira. Paling tidak, saya punya harapan, dugaan senjakala pasar tradisional itu adalah keliru.
Para calon kepala daerah juga tidak mau kehilangan pasar tradisional. Cabup, Cawalkot, Cagub, Capres, pasti butuh pasar tradisional sebagai tempat yang ampuh buat kampanye sambil diliput wartawan. Meskipun setelah menang, seperti kembali terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H