Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Senjakala Pasar Tradisional? Semoga Itu Semua Keliru

2 November 2019   19:07 Diperbarui: 3 November 2019   07:36 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jajanan di pasar Tebet Barat (foodies.id)

Anies Baswedan saat masih cagub DKI, 2016, di pasar Tebet Timur (kompas.com)
Anies Baswedan saat masih cagub DKI, 2016, di pasar Tebet Timur (kompas.com)
Para pedagang yang punya kios permanen kalah ramai dengan pedagang tidak resmi yang menggelar lapak, tenda payung, atau pedagang bergerobak yang mangkal di depan pasar.

Sebagian dari pedagang bergerobak tersebut berjualan makanan untuk sarapan pagi. Ini termasuk yang banyak dicari pengunjung, seperti pedagang lontong sayur, aneka gorengan dan bubur ayam.

Semakin crowded jalan di depan pasar, bagi saya malah semakin asyik. Meskipun laju kendaraan yang saya tumpangi jadi tersendat. Soalnya itu tadi, saya jadi punya kesempatan lebih lama melihat geliat pasar dan kalau perlu membuka kaca untuk menghirup aromanya.

Tapi kenapa saya tidak langsung saja masuk ke dalam pasar? Kenapa harus menikmati dari balik kaca? Karena saya termasuk korban kemajuan zaman dengan pola belanja setiap dua minggu di pasar swalayan.

Jajanan di pasar Tebet Barat (foodies.id)
Jajanan di pasar Tebet Barat (foodies.id)
Hanya istri saya yang rutin ke pasar, khusus membeli kebutuhan dapur seminggu sekali. Tapi karena belanjanya di pasar becek atau pasar basah, saya sesekali saja menemani. Sedangkan yang ke pasar swalayan langganan, saya sering mendampingi istri.

Lagipula saya juga tidak tega kalau masuk pasar sampai ke bagian dalam. Karena banyak cerita sedihnya, melihat sepinya pengunjung. Yang ramai di bagian depan saja.

Pernah saya memotong bagian bawah celana panjang yang saya beli di sebuah mal ke tukang jahit di pasar tradisional. Akhirnya malah jadi mendengar curhat tentang sepinya pasar.

Memang, pasar tradisional sedang menuju senjakala. Makanya selagi masih menggeliat saat saya intip dari balik kaca, saya masih bergembira. Paling tidak, saya punya harapan, dugaan senjakala pasar tradisional itu adalah keliru.

Para calon kepala daerah juga tidak mau kehilangan pasar tradisional. Cabup, Cawalkot, Cagub, Capres, pasti butuh pasar tradisional sebagai tempat yang ampuh buat kampanye sambil diliput wartawan. Meskipun setelah menang, seperti kembali terlupakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun