Ssttt! Ini rahasia ya, tolong jangan disebarkan. Sebetulnya yang dimaksud dengan Pak Tua pada judul di atas adalah saya sendiri.
Begini, sering saya bertanya dalam hati, apakah saya normal dalam usia mendekati penghujung 50-an tahun, bila lagi berpapasan dengan cewek cantik, selalu masih tertarik untuk sekadar meliriknya selama beberapa detik.
Ya memang hanya sampai sebegitu saja keberanian saya, sekadar melihat sekilas seolah-olah tidak sengaja. Tapi itu sudah cukup menciptakan peperangan di batin saya.
Sisi baik saya selalu mengingatkan ajaran yang sering saya dengar dari para ustad agar kita menundukkan pandangan bila bertemu dengan lawan jenis.
Tapi sisi jelek saya lebih kuat menghasut dengan membisikkan bahwa kesempatan harus dimanfaatkan. Pemandangan yang indah sayang kalau dilewatkan.Â
Kadang-kadang saya mencari pembenaran sendiri dengan mengajukan dalil mengagumi ciptaan Tuhan adalah salah satu cara bersyukur.
Parahnya, definisi cantik yang saya gunakan terlalu longgar. Mau yang remaja atau yang setengah baya, yang hitam atau yang putih, yang kurus atau gemuk, yang pesek atau mancung, berpakaian agak terbuka atau berhijab, tetap bisa saya pandang sisi cantiknya.Â
Tak heran frekuensi saya melirik jadi lumayan sering bila sedang berada di ruang publik semisal di mal, di bandara, atau malah di halte bus saat pagi hari yang sibuk di Jalan Sudirman, Jakarta, ketika bus "menumpahkan" isinya para karyawati yang berkantor di sekitar halte itu.
Apalagi di kantor saya sendiri, eh maksudnya bukan di kantor milik saya, tapi di kantor tempat saya bekerja, yang terletak di dekat halte itu tadi.Â
Jelas kalau di kantor, saya tidak sekadar berpapasan, tapi berkomunikasi secara lisan dengan banyak karyawati. Akhirnya definisi cantik saya makin fleksibel.
Soalnya, saya mampu mendeteksi sisi cantik seorang karyawati yang menurut teman-teman saya tergolong berwajah kurang cantik. Contohnya wanita yang pintar dalam berdiskusi, meski berwajah biasa, membuat saya betah memandangnya.