Revisi UU KPK yang tengah bergulir telah menimbulkan kehebohan karena banyak anggota masyarakat yang merasa hal tersebut akan memperlemah KPK. Akibatnya DPR sebagai pihak yang berinisiatif merevisi UU itu, di mata publik makin turun citranya.
Demikian pula dengan hasil seleksi calon pimpinan KPK yang baru saja usai, hasilnya diluar ekspektasi masyarakat. DPR ternyata memilih calon yang dari awal sudah banyak menuai kontroversi di media massa.
Tapi tentu bukan berarti kita harus mengabaikan bila DPR mengeluarkan keputusan yang bermanfaat bagi masyarakat. Begitulah, tanpa banyak publikasi, DPR telah memulai tahapan dalam merevisi aturan hukum tentang usia minimal seorang wanita untuk dibolehkan menikah.
Tadinya, perkawinan sepasang calon pengantin, baru bisa dilakukan bila sang wanita telah berusia 16 tahun dan sang pria berusia minimal 19 tahun.
Dalam aturan yang baru, usia minimal wanita untuk menikah dinaikkan menjadi 19 tahun, sama dengan usia minimal untuk pria. Usia minimal pria tidak mengalami perubahan karena selama ini yang paling banyak terlibat pernikahan dini adalah yang wanita.
Hanya saja persetujuan DPR tersebut baru pada tahap pengambilan keputusan Panitia Kerja (Panja) DPR-RI Revisi UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bersama pihak pemerintah, dalam hal ini dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Kamis (12/9/2019) kemarin.Â
Masih perlu tahapan berikutnya yakni keputusan dalam sidang paripurna DPR. Mengingat masa bakti DPR periode 2014-2019 tinggal menghitung hari, wajar bila diharapkan DPR bisa mengagendakan hal ini secepatnya sebagai kado terindah bagi perlindungan anak-anak Indonesia di masa depan.Â
Bahkan akan menjadi kenangan manis untuk mengimbangi berita hiruk-pikuk revisi UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK yang baru.
Hanya saja begitu revisi UU Perkawinan disahkan bukan berarti tugas sudah selesai. Kebijakan yang baik perlu dikawal agar mulus pula implementasinya. Makanya perlu diantisipasi dampak yang tidak diharapkan seperti berikut ini.
Pertama, sangat mungkin kebijakan tersebut akan disalahpahami oleh para orangtua yang hidupnya pas-pasan. Salah satu motif orangtua menikahkan anak gadisnya cepat-cepat adalah agar bebannya secara ekonomi akan berkurang karena dialihkan ke menantu lelakinya.Â