Perombakan pengurus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang perbankan yang berlangsung pada minggu terakhir Agustus dan awal September lalu, telah menimbulkan berbagai tanggapan. Ada yang pro, tapi lebih banyak yang kontra, mengacu pada pemberitaan yang berkembang di media massa.
Ada kesan Menteri BUMN Rini Soemarno memaksakan kehendak untuk merombak pengurus, baik direksi maupun komisaris di BRI, BNI, BTN dan Bank Mandiri. Soalnya masa tugas Ibu Menteri tinggal menghitung hari, karena Oktober mendatang akan dilantik kabinet baru.Â
Bisa jadi Rini Soemarno masih tetap akan terpilih lagi di posisinya saat ini. Tapi bukankah lebih cantik kalau perombakan tersebut dilakukan setelah pelantikan kabinet baru?Â
Atau jangan-jangan memang Bu Menteri khawatir tidak terpilih lagi, lalu mumpung sekarang masih menjabat, ya memanfaatkannya buat menunjuk figur-figur yang dipercayainya di beberapa BUMN di atas.
Apakah Presiden Jokowi menyetujui perombakan tersebut, masih menjadi spekulasi. Yang pro Rini Soemarno mengatakan pasti sudah ada lampu hijau dari Presiden. Namun yang tidak setuju bilang bahwa Rini kebablasan, karena sebelumnya sudah ada imbauan Presiden untuk tidak melakukan perombakan sampai kabinet baru terbentuk.
Paling tidak ada dua hal yang menjadi sorotan pada perombakan pengurus bank-bank dimaksud. Pertama, soal Direktur Utama BRI Suprajarto yang menolak dialihtugaskan menjadi Direktur Utama BTN yang asetnya jauh di bawah BRI. Kedua, soal adanya direktur BNI yang berasal dari generasi milenial.
Untuk soal yang pertama, meskipun terkesan tidak lazim, sebetulnya tidak masalah. Disebut tidak lazim karena kinerja BRI sangat baik, menjadi bank yang terbesar dari sisi aset dan perolehan laba di tanah air, tapi kok digeser ke bank yang jauh lebih kecil.
Alasan Suprajarto menolak jabatan Direktur Utama BTN karena ia tidak diajak bicara sebelumnya, lebih menggambarkan bahwa adanya komunikasi yang tidak mulus. Memang rumor yang beredar di kalangan komunitas perbankan, Suprajarto jarang nongol pada acara seremonial yang dilakukan Kementerian BUMN. Padahal Direktur Utama bank BUMN lain sering di dekat Bu Menteri.
Tapi untuk soal yang kedua, yakni dipilihnya Ario Bimo yang masih berusia 38 tahun sebagai Direktur Keuangan BNI, menimbulkan bisik-bisik yang tidak sedap di komunitas perbankan milik negara.
Usia 30-an menjadi direktur bukan aneh di bank swasta. Tapi untuk ukuran bank pemerintah memang tergolong terlalu cepat, karena usia rata-rata direktur bank pemerintah saat ditunjuk adalah pada usia 50-an. Kalaupun ada rising star, paling tidak sudah pada usia 40-an.
Kenapa relatif terlambat ketimbang bank swasta? Karena banyak jenjang karir yang harus dilewatinya. Anggaplah seorang sarjana baru lulus bergabung di program management trainee, yang merupakan jalur cepat untuk pengkaderan pejabat, paling cepat butuh sekitar 20 tahun untuk meraih posisi satu level di bawah direktur yang sekaligus menjadi calon yang akan dipertimbangkan untuk menjadi direktur.