Hari Sabtu (31/8/2019) saya sengaja ke Pasar Baru, Jakarta Pusat, kawasan perbelanjaan yang sangat terkenal sejak zaman Belanda sampai sekitar tahun 1980-an.
Ya, sejak zaman Belanda, karena ini salah satu pasar tertua di Batavia, nama Jakarta waktu itu. Perhatikan tulisan di gerbang masuknya. Tertulis tahun 1820 sebagai tahun pendiriannya. Wow, sudah dua abad. Tapi gerbangnya itu dibangun baru dengan gaya gerbang kawasan pecinan.
Melewati gerbang tersebut, di kedua sisi jalan sepanjang sekitar 700 meter itu, berjejer puluhan toko. Sebagian besar berupa toko sepatu atau toko bahan pakaian. Toko sepatu kebanyakan milik saudara kita keturunan Tionghoa dan toko pakaian milik keturunan India.

Jadi, warga ibu kota jadul, kalau belanja sepatu atau bahan pakaian, pasti ingatnya Pasar Baru. Tapi setelah mal dibangun di berbagai pelosok ibu kota, kepopuleran Pasar Baru pun memudar.

Saya tidak merasa heran waktu berjalan-jalan di Sabtu kemarin, yang notabene adalah hari libur alias hari untuk belanja, mendapatkan suasana yang relatif sepi.
Namun beberapa orang turis bule ternyata masih dijumpai. Memang kawasan ini tercantum pada brosur panduan wisata kota Jakarta dan sepertinya menjadi acuan bule-bule itu yang terlihat memegang brosur.

Namun jelas dibandingkan dengan era kejayaan Pasar Baru dulu, bule yang berkunjung makin berkurang. Dulu saya masih sering menjumpai pedagang uang asing yang sambil berdiri di pinggir jalan menawarkan rupiah atau dolar, pertanda banyak turis yang ke sana.