Suatu malam, saya kedatangan pengantar surat undangan untuk menghadiri resepsi pernikahan anak seorang pemimpin tertinggi di sebuah BUMN terkemuka.Â
Sungguh saya merasa kaget, karena sang pejabat masih mengingat saya, meskipun sudah tiga tahun saya tidak lagi mengabdi di BUMN yang dipimpinnya.
Sebetulnya kalau orang penting punya hajatan, hati saya agak mendua untuk datang menghadiri. Di satu sisi pasti sudah kebayang makanan yang melimpah dan beragam, dari masakan Indonesia sampai yang internasional.Â
Dekorasinya pasti sangat menarik. Lalu hiburan bagi para undangan biasanya diisi oleh artis papan atas. Pengunjung ibarat menonton konser saja. Â Sudah begitu, bisa melihat langsung public figure yang selama ini hanya dilihat di layar kaca.
Namun di sisi lain membayangkan bakal mengantre lama sekali untuk menyalami pengantin, sudah bikin perut mules duluan. Saya pernah satu jam mengantre sampai lutut goyah.
Pernah saya siasati dengan datang lebih awal. Tapi ternyata tidak membantu. Sejak dari tempat jejeran ratusan karangan bunga, barisan antrean sudah ada. Barisan ini sering pula dipotong undangan VVIP yang punya hak lebih dulu menyalami dan berfoto dengan pengantin.
Pernah pula saya datang sengaja belakangan. Harapannya antrean tinggal sedikit. Tapi ya sama saja. Para tamu dengan dandanan yang modis seolah tak ada habisnya.
Soal lain yang bikin bingung adalah soal amplop. Mau diisi berapa kalau yang mengundang tergolong kelompok super kaya. Di kasih banyak, kantong saya yang teriak. Di kasih sedikit, takut kalau ketahuan.
Apapun juga, untuk undangan yang saya terima kali ini, saya harus datang. Meskipun saya amat menyadari kedatangan itu mungkin tidak berarti bagi yang punya hajat.Â
Saya ingin membuktikan apakah imbauan di surat undangan untuk tidak mengirimkan karangan bunga dan sumbangan dalam bentuk apapun (baca: amplop), berjalan efektif atau tidak.