Pantas saja kursi yang paling seksi yang jadi incaran banyak partai politik saat ini adalah kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).Â
Paling tidak hal itu terbaca dari usulan PDIP yang disuarakan saat kongres partai berlambang banteng itu di Bali, baru-baru ini. Usulan tersebut dikemas dalam 23 butir rekomendasi yang dibacakan pada acara penutupan kongres.
Salah satu rekomendasi itu adalah melakukan amandemen terbatas atas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Terlihat sekali bahwa PDIP sangat visioner, ingin mengamankan kondisi yang telah terbangun. Untuk itu, setelah Jokowi mengakhiri periode kedua kepemimpinannya akhir tahun 2024 nanti, penggantinya "diikat" tetap komit melanjutkan apa yang menjadi kebijakan jangka panjang yang tercantum pada GBHN.
Ini mirip dengan pola yang dipakai Presiden Soeharto selama era Orde Baru. Ketika itu GBHN dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berkesinambungan dari repelita yang pertama, kedua, dan seterusnya. Sehingga arah pembangunan waktu itu sangat jelas dengan fokus utama pada bidang pertanian, baru kemudian membangun perindustrian tanpa mengabaikan bidang pertanian.
Sebetulnya ide PDIP tersebut wajar-wajar saja dan memang demikianlah seharusnya. Hanya saja jangan lupa, dulu Soeharto sukses mengimplementasikan GBHN karena Presidennya ya beliau sendiri selama lebih kurang 32 tahun.Â
Lagipula waktu itu boleh dikatakan mayoritas anggota MPR adalah pendukung setia pak Harto, yakni dari anggota DPR yang berasal dari Golkar (belum disebut sebagai Partai Golkar seperti sekarang) yang selalu menjadi pemenang Pemilu dan anggota MPR yang diangkat langsung yang menjadi utusan daerah, utusan golongan, dan wakil dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Jadi, meskipun secara formal Presiden adalah mandataris MPR dalam arti menerima mandat dari MPR dan mempertanggungjawabkan mandat tersebut kepada MPR, dalam praktiknya apa yang dimaui Soeharto akan berjalan mulus tanpa ada halangan dari MPR.
Nah, sekarang situasinya berbeda jauh. Itulah yang jadi masalah. Soal masa kerja Presiden sebagai misal, hanya maksimal 10 tahun. Belum tentu nantinya pengganti Jokowi adalah kader PDIP yang dengan senang hati melanjutkan program yang telah disusun pendahulunya.Â
Ya, dengan lobi politik tingkat tinggi, bisa saja amandemen UUD tersebut akan disetujui. Makanya PDIP tidak ngotot untuk dapat kursi Ketua MPR, cukup wakil ketua, asal ketuanya bersama wakil ketua lain bisa menjamin akan menggolkan amandemen itu.
Tapi bukankah lima tahun mendatang bila partai yang berkuasa berbeda lagi dan berhasil menggalang kekuatan untuk merevisi GBHN, toh bisa saja terjadi. Maka, tugas berat PDIP bukan saja menyusun GBHN untuk beberapa periode pemerintahaan selama katakanlah 25 tahun mendatang, tapi yang lebih penting kembali berhasil menempatkan kadernya di tampuk kekuasaan seperti yang sekarang diemban Jokowi.Â