Beberapa bulan yang lalu, beberapa media cetak dan media daring menurunkan berita tentang adanya 300-an bus Transjakarta yang teronggok di kawasan Darmaga, Kabupaten Bogor.
Kenapa bus tersebut dibiarkan teronggok begitu saja? Apakah karena berkaitan dengan statusnya sebagai barang sitaan dalam kasus pengadaan bus dimaksud yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku?Â
Sayangnya berita yang menggambarkan adanya kemubaziran dalam sistem penanganan barang sitaan pada prosedur hukum di negara kita, tak banyak mendapat respon masyarakat. Sekarang malah kasusnya seolah telah dilupakan publik, karena tidak lagi diungkit oleh pers.
Tak perlu kita analisis pakai metode kuantitatif. Toh, sangat jelas membiarkan barang sitaan yang sebetulnya bisa dimanfaatkan menjadi sarana pemenuhan kebutuhan transportasi rakyat, terutama kelas menengah ke bawah, dilihat dari manapun adalah mubazir.
Masalahnya belum ada upaya terobosan hukum, bagaimana caranya agar barang sitaan, untuk jenis-jenis tertentu, dapat dimanfaatkan? Bayangkan 300-an bus teronggok jadi besi tua. Sudah memakan lahan demikian luas, yang sebetulnya lahan produktif yang bisa ditanami, juga perlu biaya operasional buat petugas yang menjaganya.
Atau mungkin tidak ada yang menjaga bus-bus itu, sehingga tak dapat dihindarkan lagi, diam-diam akan dipreteli oleh para pemulung atau mereka yang tahu memilih bagian yang bisa dijual.
Berbicara tentang barang sitaan, memang banyak jenisnya. Ketika Susy Pudjiastuti masih menjadi Menteri Kelautan, istilah "tenggelamkan" untuk kapal asing yang tertangkap beroperasi tanpa izin di perairan Indonesia, sangat populer.
Banyak dari kapal tersebut yang sengaja dibakar. Permintaan dari masyarakat nelayan agar kapal sitaan itu dikelola koperasi nelayan atau dimanfaatkan dengan cara lain, tidak dikabulkan oleh Susy.Â
Sedangkan kalau barang bukti berupa minuman keras, narkoba, dan sejenis itu, memang tidak ada perdebatan, paling baik adalah dimusnahkan.
Kembali ke kasus 300-an bus di atas, setelah ditelusuri ke berbagai berita di media massa, ternyata oleh pihak Transjakarta tidak diakui sebagai miliknya. Kendati demikian, kompas.com (28/7/2018) membeberkan fakta bahwa bus tersebut dicat dan diberi label Transjakarta.
Menurut kompas.com, ada tulisan yang ditempelkan yang berbunyi "Budel Pailit PT Putera Adi Karyajaya (Dalam Pailit) Sesuai Putusan Perkara No. 21/PDT.SUS-PAILIT/2018/PN Niaga JKT PST, tertanggal 20 September 2018. Dalam Pengawasan Kurator dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat".