Makanya di kartu pengenal karyawan, di kartu nama, dan juga pada surat yang saya tandatangani (dalam beberapa hal saya berwenang menandatangani surat keluar), nama saya tak ada embel-embel gelar apapun, baik gelar sarjana, gelar adat ataupun gelar agama (haji, yang biasa disingkat H. di depan nama).
Tapi apa boleh buat, kali ini saya takluk oleh surat undangan pernikahan. Saya tidak boleh egois karena ini menyangkut gengsi dua keluarga besar yang saling berbesanan.
Hanya saja dalam hati saya tetap merasa hal tersebut bersifat diskriminatif. Betapa kasihan yang tak punya gelar sarjana, gelar agama atau gelar adat, jika menjadi minoritas dalam daftar yang mayoritas punya gelar.
Padahal boleh jadi yang tak punya gelar tersebut adalah seorang petani yang tekun, pedagang yang disenangi banyak pelanggannya, pekerja sosial yang inspiratif, dan sebagainya. Sedangkan yang punya gelar, siapa tahu integritasnya malah kalah sama yang tak punya gelar.
Sudah saatnya masyarakat menghargai seseorang bukan dari gelarnya, tapi dari hasil karya dan pengabdiannya. Gelar akademis bukannya tak penting, tapi integritasnya untuk berlaku jujur dalam bermasyarakat dan juga dalam berusaha di bidang apapun, jauh lebih penting.
Demikian pula sikap seseorang dalam mematuhi semua ketentuan dari pemerintah dan menjalankan ajaran agama yang dipeluknya, juga tak kalah penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H