Saya sendiri punya kakak ipar yang menikah dengan orang Betawi. Dua orang anaknya yang juga sudah berkeluarga belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di Ranah Minang.
Ketika saya pancing, ternyata salah seorang keponakan istri saya tersebut sangat ingin melihat desa kelahiran ayahnya. Tapi masalahnya adalah penghasilannya relatif terbatas untuk membeli tiket pesawat yang lagi mahal.
Maka ketika ada acara pernikahan salah seorang famili dari istri saya di Payakumbuh, Sumbar, belum lama ini, saya sengaja mengajak sang keponakan yang sudah lama kebelet ingin pulang kampung.
Pada suatu kesempatan, seseorang yang tahu silsilah keluarga istri saya menjelaskan arti pentingnya melacak dan mengenal asal asul kepada sang keponakan yang terlihat sangat menikmati suasana di kampung.
Memang jika dilihat komposisi demografi negara kita, sebagaimana juga di negara-negara lain, semakin banyak penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan atau lazim disebut urbanisasi. Bahkan diprediksi nantinya kawasan pedesaan akan makin sepi lagi.
Namun demikian merupakan tanggung jawab orang tua untuk menceritakan, mengenalkan, dan jika punya kesempatan dan kemampuan mengajak anak cucunya menengok kampung halaman, baik kampung ayahnya maupun kampung ibunya.
Hal itu akan berperan untuk menghargai dan memelihara kebudayaan kita yang amat kaya ini. Mereka yang mengenal kampung halaman juga akan lebih menghargai para petani atau nelayan karena menyaksikan langsung perjuangan mereka yang bertahan tinggal di kampung.
Sungguh kurang tepat bila ada seseorang yang tak mengetahui desa tempat ayah dan desa tempat ibunya berasal. Atau kalaupun ayah ibunya sudah orang kota, mungkin desa kakek neneknya perlu diketahui, sekaligus mampu menyusun silsilah minimal dua generasi ke atas (ayah-ibu dan kakek-nenek dari ayah serta kakek-nenek dari ibu).
Berkaca pada perjuangan konglomerat Indonesia seperti terbaca pada biografi Liem Soei Liong dan Mochtar Riyadi, para taipan tersebut tetap menjalin hubungan, bahkan membangun sesuatu di kampung halamannya di China.Â
Maka kalau ada kemampuan, ada baiknya bila seseorang membeli sebidang kebun, sepetak sawah atau memelihara beberapa ekor sapi di kampungnya sendiri. Dengan cara itu kita juga telah memberikan lapangan pekerjaan pada orang kampung yang diajak bekerja sama.
Mungkin sedikit kendala bagi saudara-saudara kita yang beretnis Betawi, karena konon sudah "kehilangan" kampung. Untung saja Pemprov DKI Jakarta punya Kampung Betawi seperti di Setu Babakan yang menjadi tempat pelestarian budaya Betawi.