Tak dapat dipungkiri, betapa besar kontribusi dua organisasi Islam terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, bagi kemajuan bangsa Indonesia seperti yang kita raih saat ini, tidak semata-mata bagi kemajuan ummat Islam di Indonesia.
Wajah Islam di Indonesia yang moderat dan mampu bahu membahu dengan masyarakat pemeluk agama lain, adalah hasil perjuangan kedua organisasi tersebut sehingga pembangunan di bidang pendidikan, sosial, budaya, bahkan juga perekonomian, di negara kita bisa berlangsung secara kondusif.
Walaupun NU dan Muhammadiyah bukan organisasi politik, tak pula dapat diabaikan peranannya dalam pembangunan di bidang politik. Tokoh-tokoh kedua ormas besar itu yang tersebar di banyak partai politik, tentu mewarnai dialektika dalam kancah perpolitikan kita. Atau kalaupun tokoh-tokoh tersebut tidak terjun dalam politik praktis, namun berperan dalam aspek pendidikan poilitik.
NU berdiri tahun tahun 1926 di Surabaya dan Muhammadiyah berdiri lebih awal lagi yakni tahun 1912 di Yogyakarta. Jelas pula bahwa kemerdekaan Republik Indonesia antara lain juga berkat kiprah NU dan Muhammadiyah bersama elemen bangsa lainnya.
Terlalu banyak bila harus ditulis di sini apa saja yang telah dilakukan atau dipunyai NU dan Muhammadiyah. Tapi ada suatu berita terbaru yang membanggakan Indonesia, NU dan Muhammadiyah telah dicalonkan dalam satu paket untuk meraih penghargaan bergengsi di tingkat dunia, yakni hadiah Nobel di bidang perdamaian.
Seperti yang diberitakan republika.co.id (22/6/2019), alasan NU-Muhammadiyah pantas dapat Nobel Perdamaian mengingat perannya dalam memainkan proses mediasi dan menjembatani seluruh lapisan masyarakat dengan pemerintah, serta menjadi aktor penting dalam menciptakan dan menjaga perdamaian.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, menambahkan bawa selama NU dan Muhammadiyah menegakkan jalan tengah dan Pancasila, kelompok-kelompok ekstrimis tidak akan pernah menang.Â
Dukungan pencalonan bagi NU-Muhammadiyah dalam penghargaan Nobel Perdamaian tersebut datang dari banyak pihak, tapi awalnya diinisiasi oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM). Kemudian Wapres Jusuf Kalla, Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Ketua DPR Bambang Soesatyo juga menyatakan dukungannya.
Ada pula dukungan dari Romo Magnis. Dilansir dari tribunnews.com (24/6/2019), Romo Magnis menilai kiprah NU dan Muhammadiyah juga dirasakan oleh kelompok minoritas non-muslim.
Dukungan dari luar negeri juga mengalir, antara lain dari mantan peraih Nobel Perdamaian pada tahun 1996 yang juga mantan Presiden Timor Leste, Jose Ramos Horta.
Peran Muhammadiyah dan NU Â tidak hanya turut serta menciptkan perdamaian di daerah yang pernah didera konflik di dalam negeri seperti di Aceh, Poso, Ambon, dan Papua, tapi juga berkontribusi di luar negeri. Aksi kemanusiaan dan perdamaiannya antara lain sampai ke Filipina dan Myanmar.
Sayangnya, terkait pencalonan tersebut tidak banyak terlacak di media massa seberapa besar peluang NU-Muhammadiyah. Untuk tahun ini usulan nama-nama penerima Nobel telah ditutup 31 Januari 2019 lalu.
Detik.com (18/2/2019) menginformasikan bahwa Yayasan Nobel telah menerima 304 pengusulan kandidat penerima Nobel Perdamaian yang terdiri 219 individu dan 85 organisasi. Tentu tidak gampang bagi NU-Muhammadiyah untuk terpilih oleh tim penilai.Â
Sejauh ini yang terungkap di media massa, calon kuat penerima Nobel Perdamaian adalah Greta Thunberg, seorang aktivis lingkungan dari Swedia yang masih berusia 16 tahun. Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga dicalonkan berkat pertemuannya dengan Kim Jong Un, penguasa Korea Utara.
Namun tentu kita di Indonesia berdoa agar NU-Muhammadiyah berhasil mencetak sejarah baru apabila nantinya terpilih meraih penghargaan yang belum sekalipun pernah diterima orang atau organisasi asal Indonesia.
Memang tahun 1996 dulu Carlos Filipe Ximenes Belo yang saat itu tercatat sebagai Uskup di Timor Timur (masih bagian dari Republik Indonesia) menerima Nobel Perdamaian bersama Ramos Horta.Â
Namun penghargaan tersebut diberikan justru untuk penyelesaian konflik yang akhirnya membuat Timor Timur lepas dari pangkuan RI, menjadi negara Timor Leste.
Adapun orang Indonesia yang nyaris meraih Nobel di bidang kesusastraan adalah novelis Pramoedya Ananta Toer. Semoga tahun ini NU-Muhammadiyah tidak sekadar nyaris.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H