Kalaupun saat mentari bersinar besok pagi, ibu kota negeri ini berpindah ke lain tempat, cinta saya terhadap Jakarta tak berkurang sedikitpun. Makanya di hari ulang tahunnya yang ke 492, 22 Juni 2019 ini, saya ingin mengungkapkan perjalanan cinta saya pada Jakarta yang tanpa syarat.
Padahal menjadi warga Jakarta bukan obsesi saya dulunya. Takdirlah yang menghendaki begitu. Awalnya saya sudah memulai tugas sebagai staf pengajar di almamater saya di Padang.Â
Tapi gara-gara proses penerbitan SK saya dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) terlalu lama, iseng-iseng saya mengajukan lamaran kerja setelah membaca iklan di sebuah koran ibu kota.
Justru kantor pusat sebuah perusahaan milik negara lebih awal memberi kepastian buat jadi pegangan masa depan saya. Namun perusahaan itu punya kantor yang tersebar di seluruh tanah air.
Hanya saja bila teman-teman saya banyak yang ditempatkan di kantor cabang yang tersebar itu dan sering berpindah-pindah, saya malah nyaris selalu berada di kantor pusatnya di Jakarta.Â
Teman-teman saya yang di daerah mengaku tidak betah kalau lagi di Jakarta, terutama karena macetnya di jalan raya. Saya malah hanya tahan satu sampai dua minggu saja bila lagi berada di luar Jakarta, dan begitu pesawat yang membawa saya mendarat di Bandara Soekarno Hatta, alangkah bahagia rasanya.Â
Memang saya sangat meresapi salah satu lagu Koes Plus yang antara lain liriknya berbunyi: "Ke Jakarta aku kan kembali". Bahkan saat saya pulang kampung pun ke Sumatera Barat, terutama setelah kedua orang tua saya tiada, saya selalu menginginkan untuk segera pulang ke Jakarta.
Begitu pula bila saya bepergian ke luar negeri, termasuk ke beberapa negara maju di Eropa atau Amerika, kerinduan kembali ke Jakarta sudah terasa mulai minggu kedua.Â
Itulah yang menyebabkan mendarat kembali di Jakarta membuat saya merasa lega. Terasa murahnya naik taksi di Jakarta ketimbang di luar negeri. Terasa sensasinya menikmati berbagai makanan yang kalau di luar negeri harus merogoh saku lebih dalam dengan rasa yang tidak seenak di Jakarta.
Justru cinta pertama saya dengan Jakarta berawal dari banyaknya pedagang makanan baik di kaki lima maupun yang berkeliling dari gang ke gang sampai tengah malam. Baik yang di food court di mal-mal mewah maupun yang dijual mbok-mbok bakulan di pasar becek.
Saya bukannya tak pernah punya pengalaman jelek di ibu kota. Saya pernah kecopetan di bus kota. Dompet yang melayang berisi KTP dan uang sekitar Rp 250.000 yang untuk ukuran tahun 1993 terasa besar sekali bagi saya.