Sabtu malam (1/6/2019) sepulang dari masjid seusai salat tarawih, saya jalan bareng seorang tetangga saat menuju rumah. Si tetangga langsung membuka obrolan dengan mengatakan jamaah yang ikut salat tarawih (maksudnya di masjid tempat kami salat) sudah semakin maju.
Saya telmi (telat mikir) dalam menanggapi obrolan tersebut, dengan mengatakah "alhamdulillah" sambil bertanya-tanya dalam hati apanya yang maju. Mungkin pemahaman agamanya makin oke karena ceramah yang disampaikan uztad sebelum salat tarawih dimulai. Atau mungkin juga sumbangan dari jamaah buat masjid semakin banyak.
Untung saja si tetangga buru-buru memberi tambahan komentar yang menegaskan maksudnya bahwa makin maju tersebut mengacu pada posisi salatnya yang lebih di depan. Soalnya, di hari-hari terakhir bulan puasa jumlah jamaah yang ikut tarawih tinggal tiga saf (baris) dari belasan saf yang ada di lantai 1 dan sekitar 10 saf di lantai 2.
Karena hanya 3 saf, tentu semuanya berada di bagian depan. Sangat berbeda dengan minggu pertama bulan puasa yang bahkan jamaahnya sampai luber ke emperan masjid.Â
Sangat tidak baik berburuk sangka misalnya dengan menilai jamaah lain lebih mementingkan kesibukan menyongsong lebaran ketimbang melaksanakan ibadah salat tarawih.
Boleh jadi masjid di tempat saya menunaikan salat semakin sepi, tapi masjid di dekat pusat perbelanjaan atau musala yang berada dalam mal menjadi lebih ramai karena dipenuhi oleh mereka yang berbelanja, lalu tetap menyempatkan diri salat tarawih di tempat yang terjangkau.
Atau kalau kita menyimak berita di televisi, pergerakan arus mudik yang sudah ramai, tentu saja membuat warga yang masih berada di kota besar seperti Jakarta mulai berkurang. Nah, siapa tahu jamaah salat tarawih di masjid-masjid sepanjang jalur mudik juga menjadi semakin ramai.
Bila para pemudik telah sampai di kampung masing-masing, tentu giliran masjid di kampung-kampung tersebut yang menerima limpahan jamaah. Bagus juga kan kalau begini, sumbangan buat masjid kampung akan meningkat dari dompet warganya yang pulang kampung.
Tapi seandainya kita tenggelam semata-mata untuk urusan duniawi, meskipun dengan dalih untuk menyambut idul fitri, sesuatu yang bernilai religius, tentu sangat disayangkan, mengingat betapa berharganya momen untuk beribadah di penghujung Ramadan.
Keceriaan menyambut lebaran seharusnya diiringi dengan kesedihan melepas bulan suci yang hampir usai ini. Semoga kita masih bertemu dengan bulan Ramadan di tahun-tahun mendatang.Â