Sampai era 1990-an, pamor para perantau Minang yang berkiprah di seluruh pelosok nusantara, bahkan sampai ke mancanegara, sangatlah tinggi dan menjadi buah bibir saat para perantau tersebut pulang ke kampung masing-masing di hari raya Idul Fitri.
Bahkan para perantau sukses yang masih bujangan menjadi incaran untuk dijadikan menantu oleh banyak orang tua. Makanya seusai salat Idul Fitri, biasanya para orang tua yang punya anak gadis yang sudah masanya berumah tangga akan melihat siapa saja para perantau muda yang pulang kampung.Â
Jika sudah jelas bidikannya ke salah seorang pemuda yang sudah diketahui status bujangannya, pekerjaannya, dan info yang relevan lainnya, akan ada "lobi" dari pihak keluarga wanita ke pihak keluarga laki-laki, paling tidak untuk saling berkenalan dulu.Â
Memang tidak setiap tahun para perantau itu pulang kampung, biasanya dua atau tiga tahun sekali, saat uang yang terkumpul sudah mencukupi untuk memperlihatkan gaya hidup yang menunjang atributnya sebagai perantau yang sukses, tentu lengkap dengan aksi bagi-bagi hadiah dan mentraktir keluarga dan teman-temannya di kampung.
Tapi semua deskripsi di atas sudah tidak begitu terlihat saat ini. Sekarang gaya perantau dengan mereka yang tinggal di kampung relatif sama, karena dengan kemajuan informasi teknologi, orang kampung pun sudah tahu trend mode saat ini.
Perkembangan ekonomi dan infrastruktur juga memudahkan pergerakan manusia. Orang rantau bisa pulang kampung sesukanya dan kembali lagi ke perantauan tanpa menjadi pusat perhatian orang kampung. Demikian pula orang kampung, diam-diam pergi ke Jakarta atau kota lain di luar Sumbar untuk melihat anaknya yang wisuda, menghadiri pernikahan keponakannya yang diadakan di perantauan, atau ada kerabatnya di rantau yang meninggal.
Bahkan tak sedikit warga Sumbar yang sengaja berwisata ke destinasi utama di dalam negeri dan luar negeri. Hal ini berarti kemampuan ekonomi para perantau dengan mereka yang bertahan di kampung relatif tidak berbeda jauh. Jangan heran, meskipun di luar libur lebaran, jalur jalan raya dari Padang ke kota-kota kabupaten di Sumbar sudah dijangkiti penyakit macet, karena banyak warga yang punya mobil, meski bukan tergolong mobil mewah.Â
Jadi kesan orang rantau lebih bergaya, lebih kaya, lebih pintar, sudah terkikis karena mampu diimbangi oleh mereka yang tinggal di kampung. Bahkan tidak sedikit pula para perantau yang kebetulan masih menjadi pedagang kelas bawah merasa minder karena kalah wawasan kalau bertemu dengan kerabatnya di kampung yang berprofesi sebagai orang kantoran, dosen, atau politisi lokal.
Para pedagang asal Minang harus diakui sudah melewati era keemasannya setelah menjamurnya supermarket dan ditambah lagi dengan maraknya e-commerce sekarang ini. Tentu saja ada segelintir perantau yang mampu mengikuti kemajuan zaman, namun secara umum mereka adalah kelompok yang tergilas zaman.
Karena supermarket jugalah biskuit yang dulu jadi oleh-oleh orang rantau, sekarang sudah banyak terdapat sampai ke desa-desa. Bahkan yang menjual pizza, fried chicken, atau fast food lainnya juga telah hadir di kota-kota kabupaten di Sumbar.Â
Jadi cerita apapun yang dibawakan para perantau sambil ngopi dengan teman-temannya saat berlebaran di kampung, tidak ada yang aneh lagi bagi pendengarnya.Â