Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Emak-emak Lebih Sangar Berbicara Politik

9 Mei 2019   08:09 Diperbarui: 9 Mei 2019   08:22 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sungguh saya takut bila terlibat dalam pembicaraan politik dengan emak-emak. Soalnya, saya menangkap fenomena emak-emak zaman sekarang semakin militan dan mampu meniru para politisi yang tak mau kalah dalam berdebat di layar kaca.

Di kantor, saya satu kelompok dengan banyak emak-emak. Kami semua bertujuh, hanya ada dua orang lelaki, saya dan satu teman lagi. Dari 5 orang emak-emak teman kerja saya tersebut, tiga di antaranya keranjingan membicarakan politik yang dalam hal ini adalah pendukung Jokowi-Ma'ruf. 

Maka kuping saya harus kuat mendengar ocehan ibu-ibu itu tentang berbagai hal kejelekan Prabowo-Sandi, termasuk orang-orang di belakangnya. Kebenciannya terhadap Rizieq Shihab, Ratna Sarumpaet, Amien Rais dan putrinya Hanum, Ahmad Dhani, Fadli Zon, dan figur lain yang anti Jokowi, menjadi topik sehari-hari.

Saya memilih menjadi pendengar yang baik dan mencoba menikmati emosi emak-emak yang berapi-api itu. Sesekali saya berkomentar dengan mengucapkan; "iya" atau dengan nada bertanya "o begitu ya?".

Nah, situasi yang sama, maksudnya sama sangarnya dengan teman saya di kantor, namun yang didukungnya adalah Prabowo-Sandi, saya temui pada emak-emak di Payakumbuh, Sumatera Barat, saat sebelum memasuki bulan puasa saya pulang kampung untuk berziarah ke makam ayah dan ibu saya.

Karena kali ini emak-emaknya adalah kerabat saya sendiri, awalnya saya mencoba memberikan pandangan yang berbeda. Tuduhannya bahwa Jokowi memperlonggar masuknya tenaga kerja asing, utang negara yang semakin membengkak, ulama yang dikriminalisasi, dan kecurangan pada pilpres yang baru saja usai, saya bantah dengan referensi yang saya punyai.

Namun di luar dugaan emak-emak ini makin kalap, saya seperti dikeroyok meskipun hanya dengan perang mulut. Sialnya beberapa kerabat saya yang lelaki, tidak berani berkomentar, malah pura-pura tidak mendengar.

Akhirnya saya biarkan emak-emak nyerocos sepuasnya. Setelah tensinya sedikit turun, baru secara perlahan saya berbicara bahwa pilihan mayoritas rakyat harus kita hargai. Bila ada kecurangan, bawa buktinya ke pihak yang berwenang dan biarkan sistem yang ada untuk menanganinya.

Saya ajukan pertanyaan pamungkas, "kalau kita tidak puas, apa mau perang saudara?" Baru emak-emak itu terdiam, apalagi setelah saya jelaskan bila ada perpecahan pada bangsa kita, yang bertepuk tangan adalah negara-negara adidaya yang akan masuk mengacak-acak seperti yang terjadi di Syria, Irak, Yaman, Libya, dan sebagainya.

Tentu saja pengalaman saya belum tentu menggambarkan pengalaman orang lain, dan sangat mungkin masih banyak emak-emak yang tidak emosi bila berbicara tentang politik. Buktinya kalau membaca tulisan ibu-ibu di Kompasiana tentang politik, terasa menyejukkan.

Tapi bila kita ikuti berita di seputar kampanye pilpres 2019 ini, tak dapat disangkal, makin banyak emak-emak yang ikut berkampanye, baik karena didatangi capres-cawapres, atau sengaja datang ke tempat capres-cawapres lagi berkampanye.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun