Makan bajamba adalah tradisi orang Minang, khususnya yang tinggal di kampung halamannya di Sumatera Barat (Sumbar), bukan para perantau Minang yang banyak bertebaran di nusantara dan manca negara.
Jenis lauk yang dimakan pada makan bajamba, sama saja dengan masakan Minang lainnya. Yang berbeda adalah cara penyajian dan memakannya. Makan bajamba dilakukan secara bersama, masing-masingnya duduk baselo (bersila), baik di dalam rumah gadang (rumah adat Minang) atau di tanah lapang.
Nasi beserta tumpukan lauknya dijejer di atas beberapa lembar daun pisang yang panjangnya disesuaikan dengan jumlah peserta makan bajamba. Tak ada sendok dan piring. Masing-masing mencuci tangan terlebih dahulu dari kobokan yang ada atau keran air yang ada di dekat tempat makan.
Kemudian agar makanan saat disuap ke mulut tidak berserakan, kelima jari tangan kanan harus saling berdempetan, baru mengambil nasi atau lauk yang ada di hadapannya dengan cara diputar dari posisi kelima jari tertelungkup ke posisi terbuka bersama nasi yang telah diambil.Â
Etikanya, masing-masing harus memakan habis makanan yang ada di depannya, dan sebelumnya setumpuk makanan bisa saja dibawa ke dekat posisi tangan, seperti memberi kode ke teman sebelah atau teman seberang, itu menjadi bagiannya.
Seseorang dianggap tidak sopan bila tangannya menyeberang ke makanan orang di sebelahnya atau di seberangnya. Namun agar adil, saat menarok makanan di daun pisang, pihak panitia telah membagi sama banyak dan merata jenis lauk di tiap titik. Satu titik tersebut untuk sekitar 4 orang yang saling berhadapan. Seperempat dari tumpukan itulah yang dibagi pada awalnya, menjadi jatah bagi masing-masing peserta.
Makan bajamba dengan wadah berupa daun pisang lazim dilakukan setelah acara gotong royong membersihkan kuburan atau pemakaman milik bersama masyarakat di suatu jorong (setingkat dusun) beberapa hari sebelum memasuki bulan puasa.
Berbeda dengan di Jawa yang di sebagian tempat para peziarah melakukan pembacaan doa atau mengaji di dekat makam keluarganya, di Sumbar tujuan utama hanya membersihkan semak belukar di pemakaman. Kalaupun ada yang berdoa, dilakukan secara individu yang dibaca dalam hati masing-masing.
Sambil bapak-bapak bergotong royong, ibu-ibu menyiapkan makan bajamba di bagian luar pemakaman yang ada ruang terbuka yang cukup. Atau kalau ada ruangan berupa dangau-dangau yang ada atapnya, bisa juga dilakukan di situ agar tidak kepanasan atau kehujanan.
Makan bajamba lazim pula dilakukan memakai wadah nampan besar seperti pada pesta secara adat. Satu nampan untuk sekitar 6-8 orang, sehingga kalau tamu di pesta tersebut puhan orang tentu perlu disediakan jumlah nampan yang banyak.
Hanya saja sudah lama generasi muda Minang tidak tertarik lagi dengan tradisi makan bajamba. Ada perasaan cara itu dinilai kurang higienis. Tapi akhir-akhir ini beberapa event seperti pada bazar makanan Minang di berbagai kota, tradisi ini dicoba dihidupkan lagi.