Kalau tidak keliru, pada saat kampanye pilpres yang lalu, salah satu paslon sempat mengemukakan pandangannya yang berniat untuk menghapuskan pekerja alih daya (sering juga disebut pekerja outsource atau tenaga kontrak) di negara kita.Â
Perlu diketahui, tidak semua tenaga kontrak disebut sebagai alih daya. Bila seseorang diterima sebagai pekerja di sebuah perusahaan, sebut saja PT Asal Maju dan kontraknya langsung dengan pihak manajemen PT tersebut, ini bukan alih daya.Â
Tapi bila kontraknya dengan PT Suka Nebeng, lalu oleh PT Suka Nebeng tersebut si pekerja ditugaskan selama masa kontraknya di PT Asal Maju karena ada perjanjian yang mewajibkan Suka Nebeng menyediakan pekerja untuk Asal Maju, inilah yang disebut alih daya.
Dalam hal ini, Asal Maju akan membayar sejumlah uang setiap bulan secara keseluruhan kepada Suka Nebeng, lalu kemudian Suka Nebeng akan mendistribusikannya sebagai gaji untuk masing-masing tenaga kontrak yang ditempatkannya di Asal Maju. Tentu ada sebagian uang dari Asal Maju yang menjadi hak Suka Nebeng sebagai fee atas jasanya menyalurkan tenaga kerja.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas mungkin tidaknya menghapus kebijakan tentang pengadaan pekerja alih daya yang sekarang begitu banyak jumlahnya terutama di perusahaan berskala besar. Toh yang namanya perundang-undangan bisa saja direvisi, dicabut, atau diganti, asal prosedurnya diikuti.
Pastilah para pekerja alih daya, bila akhirnya dihapuskan dari muka bumi Indonesia akan senang sekali. Dengan begitu mereka tidak lagi merasa dag dig dug setiap kontraknya mau habis. Biasanya durasi kontrak pekerja alih daya adalah selama 2 tahun meskipun dapat dilanjutkan dengan kontrak baru buat periode berikutnya.
Sebetulnya bagi para pekerja yang berstatus karyawan tetap pun, pihak manajemen perusahaan bisa saja memberhentikannya sewaktu-waktu, khususnya bila berdasarkan penilaian kinerja oleh atasannya, si pekerja dinilai tidak becus.
Hanya saja perlindungan hukum terhadap karyawan tetap lumayan baik, dalam arti kalaupun harus terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) hak-hak pesangonnya sudah diatur secara jelas, yang pasti jauh lebih besar ketimbang hak pekerja alih daya.
Nah dari hasil omong-omong informal dengan sejumlah orang yang sekarang berada di posisi manajer dari perusahaan berkelas nasional, boleh dikatakan akan banyak kinerja keuangan perusahaan yang jeblok bila pekerja alih daya dikonversi menjadi pekerja tetap.
Mungkin bagi perusahaan yang sudah punya reputasi tinggi, istilah bakal jeblok gara-gara penghapusan pekerja alih daya, terlalu berlebihan. Tapi kalau kinerja keuangannya, khususnya pada perolehan laba tahunannya akan sedikit tergerus, itu pasti.