Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Jebloknya Golput Mengindikasikan Perlawanan terhadap Hoaks

19 April 2019   08:34 Diperbarui: 20 April 2019   10:53 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah, tingkat partisipasi pemilih pada pemilu serentak 2019 sangat tinggi. Litbang Kompas menghitung tingkat partisipasinya 80,90%. Kapolri dalam pernyataannya yang ditayangkan banyak stasiun televisi menyebut angka 81%. 

Angka tersebut sudah melampaui target KPU yang mematok angka 77,5%, dan melonjak tajam dibanding pencapaian pilpres 2014 yang hanya mampu menjaring pemilih sebanyak 69,58%.

Di luar negeri yang lebih awal melakukan pemungutan suara, antusiasme warga Indonesia di berbagai belahan dunia betul-betul layak diapresiasi. Mereka rela antre berjam-jam, bahkan dalam suasana hujan seperti di Hongkong. 

Justru panitia setempat yang tidak siap sehingga banyak pemilih yang tidak terlayani. Rekomendasi Bawaslu akan diadakan pemilihan ulang seperti di Sydney dan Kuala Lumpur.

Di dalam negeri antusiasme juga terlihat di mana-mana. Banyak warga perkotaan yang pulang kampung dengan merogoh kocek untuk  biaya transpor yang tidak kecil demi bisa mencoblos di pemilu serentak tahun ini.

Para pemantau dari berbagai negara asing yang melihat langsung pelaksaan pemilu Rabu (17/4/2019) yang lalu juga menyampaikan kekagumannya melihat tingginya antusiasme masyarakat untuk ikut meenetukan masa depan bangsa.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa meskipun masih ada sebagian masyarakat yang golput, namun jumlahnya turun secara signifikan. Hal ini menarik untuk diteliti lebih dalam, kenapa jumlah golput turun?  

Sambil menunggu adanya kajian resmi dari lembaga yang kredibel, tak ada salahnya kita menduga-duga. Barangkali salah satu penyebabnya adalah kampanye besar-besaran dari kedua paslon Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi agar masyarakat jangan golput. Tentu fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan golput atau pernyataan Romo Franz Magnis Suseno yang mengecam keras golput, juga berpengaruh.

Kedua kubu saling merasa dirugikan kalau banyak yang golput karena menduga kelompok yang termasuk silent majority banyak yang sebetulnya pendukung potensial mereka yang malas bersuara.

Di lain pihak terlalu banyak hoaks beredar justru menggugah tingkat partisipsi yang tinggi. Hal ini bisa ditafsirkan sebagai indikasi perlawanan terhadap hoaks.

Contohnya Jokowi merasa difitnah sebagai kurang islami. Maka mereka yang tak percaya dengan fitnah itu justru tertantang untuk datang ke TPS dan memilih Jokowi. Seolah-olah mereka berkata: "Anda mau ngomong apa saja silakan, tapi kami sudah final memilih Jokowi".

Demikian pula fitnah terhadap Prabowo telah memancing mereka yang tadinya tidak begitu jelas dalam memberikan dukungan, berbondong-bondong ke TPS dan menentukan pilihannya yang dalam hal ini memilih Prabowo. Ini yang banyak terjadi di Sumatera, lumbung suara bagi Prabowo.

Sebetulnya jumlah golput bisa lebih rendah lagi karena ada yang datang ke TPS tapi ditolak oleh petugas seperti di beberapa tempat di luar negeri yang telah disinggung di awal tulisan ini. Sebagian warga ikut nyoblos tapi kesulitan karena kurang paham teknis pemilihan agar dihitung sebagai suara yang sah. Ini bisa terjadi pada pemilih lansia.

Yang tidak datang ke TPS karena tidak diizinkan atasannya di tempatnya bekerja, atau yang tidak dilayani saat mengurus pindah TPS sementara untuk memilih di TPS asal tidak cukup waktu atau tidak ada biaya transpor, tentu kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada meraka semata.

Maka yang betul-betul golput sejati, yang gak nyoblos padahal tak ada halangan atau datang ke TPS tapi sengaja mencoblos secara salah sehingga tidak sah, persentasenya jauh lebih kecil. 

Satu hal yang juga menggembirakan, tingkat partisipasi pemilih dari generasi milenial terlihat tinggi, meski angka resminya kita tunggu dari pihak yang melakukan pengkajian atas hal ini. 

Adanya partai yang mengklaim sebagai mewakili anak muda seperti PSI atau partai-partai lama yang banyak memasang caleg dari kalangan milenial, diduga menjadi daya tarik tersendiri, di samping promosi kreatif yang dilakukan berbagai pihak seperti memberi diskon belanja di tempat tertentu bagi mereka yang telah mencoblos.

Ternyata kepedulian kita terhadap masa depan bangsa demikian tinggi. Bahwa hoaks bersliweran, anggap saja sebagai bumbu yang terkadang memang bikin muntah, tapi tidaklah menggoyahkan keyakinan kita yang mampu memilah mana yang fitnah dan mana yang fakta. Semoga si penyebar kebohongan nantinya akan capek sendiri.

Mudah-mudahan fenomena di atas menjadi pertanda baik untuk kemajuan bangsa Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun