Alhamdulillah, tingkat partisipasi pemilih pada pemilu serentak 2019 sangat tinggi. Litbang Kompas menghitung tingkat partisipasinya 80,90%. Kapolri dalam pernyataannya yang ditayangkan banyak stasiun televisi menyebut angka 81%.Â
Angka tersebut sudah melampaui target KPU yang mematok angka 77,5%, dan melonjak tajam dibanding pencapaian pilpres 2014 yang hanya mampu menjaring pemilih sebanyak 69,58%.
Di luar negeri yang lebih awal melakukan pemungutan suara, antusiasme warga Indonesia di berbagai belahan dunia betul-betul layak diapresiasi. Mereka rela antre berjam-jam, bahkan dalam suasana hujan seperti di Hongkong.Â
Justru panitia setempat yang tidak siap sehingga banyak pemilih yang tidak terlayani. Rekomendasi Bawaslu akan diadakan pemilihan ulang seperti di Sydney dan Kuala Lumpur.
Di dalam negeri antusiasme juga terlihat di mana-mana. Banyak warga perkotaan yang pulang kampung dengan merogoh kocek untuk  biaya transpor yang tidak kecil demi bisa mencoblos di pemilu serentak tahun ini.
Para pemantau dari berbagai negara asing yang melihat langsung pelaksaan pemilu Rabu (17/4/2019) yang lalu juga menyampaikan kekagumannya melihat tingginya antusiasme masyarakat untuk ikut meenetukan masa depan bangsa.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa meskipun masih ada sebagian masyarakat yang golput, namun jumlahnya turun secara signifikan. Hal ini menarik untuk diteliti lebih dalam, kenapa jumlah golput turun? Â
Sambil menunggu adanya kajian resmi dari lembaga yang kredibel, tak ada salahnya kita menduga-duga. Barangkali salah satu penyebabnya adalah kampanye besar-besaran dari kedua paslon Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi agar masyarakat jangan golput. Tentu fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan golput atau pernyataan Romo Franz Magnis Suseno yang mengecam keras golput, juga berpengaruh.
Kedua kubu saling merasa dirugikan kalau banyak yang golput karena menduga kelompok yang termasuk silent majority banyak yang sebetulnya pendukung potensial mereka yang malas bersuara.
Di lain pihak terlalu banyak hoaks beredar justru menggugah tingkat partisipsi yang tinggi. Hal ini bisa ditafsirkan sebagai indikasi perlawanan terhadap hoaks.
Contohnya Jokowi merasa difitnah sebagai kurang islami. Maka mereka yang tak percaya dengan fitnah itu justru tertantang untuk datang ke TPS dan memilih Jokowi. Seolah-olah mereka berkata: "Anda mau ngomong apa saja silakan, tapi kami sudah final memilih Jokowi".