Sebuah dusun di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya bernama Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, baru-baru ini menjadi sorotan karena ternyata telah empat tahun membuat peraturan yang diskriminatif dan tidak dilaporkan ke pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga tidak terpantau oleh Bupati Bantul.Â
Peraturan yang tertuang dalam sebuah surat keputusan tertanggal 19 Oktober 2015 yang ditandatangani oleh Kepala Dusun dan Ketua Pokgiat (Kelompok Kegiatan) Dusun Karet tersebut antara lain menuliskan keberatan penduduk setempat untuk menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan atau agama non-Islam (idntimes.com, 3/4/2019).Â
Selama ini aturan tersebut tidak terungkap di media, sampai baru-baru ini ada seorang warga pindahan dari Desa Mancasan, Pendowoharjo, Bantul, mengontrak sebuah rumah sederhana di Dusun Karet.
Kompas.com (2/4/2019) mengisahkan bahwa awalnya, Slamet, si pengontrak rumah tersebut, diterima dengan baik oleh pemilik rumah, termasuk tidak mempermasalahkan agama Katolik yang dianutnya.
Namun ketika Slamet melapor ke ketua RT setempat, dengan menyerahkan foto kopi KTP, kartu keluarga dan akta nikah, begitu diketahui ia beragama Katolik, ditolak untuk tinggal di sana. Demikian pula saat melapor ke kepala kampung, mendapat penolakan berdasarkan surat keputusan di atas.
Slamet yang seorang pelukis itu tentu saja kecewa. Bukan hanya karena ia sudah membayar uang kontrak, tapi terlebih lagi karena ia berhadapan dengan aturan yang diskriminatif yang sebetulnya mencederai kebhinekaan Indonesia. Ia pun memilih "melawan" dengan merekam curhatnya dan dikirim ke beberapa pihak, termasuk Sekretaris Gubernur DI Yogyakarta.Â
Kasus Slamet tersebut sempat viral dan banyak koleganya yang menawarkan rumah untuk ditempatinya. Namun meskipun akhirnya telah tercapai kesepakatan Senin (1/4/2019) yang mencabut aturan diskrimanif itu, Slamet belum memutuskan apakah ia akan tetap tinggal di dusun Karet atau pindah ke lokasi lainnya.
"Yang terpenting bagi saya peraturan itu sudah dicabut. Jangan sampai ada korban lainnya. Jangan sampai cap intoleransi di DIY semakin tebal", ucap Slamet.
Setelah ditelusuri, ternyata sejarah pelarangan itu karena dulunya pernah menerima warga non-muslim yang perilakunya buruk sehingga berdampak pada warga dusun Karet lainnya. Perilaku tersebut adalah menjadikan rumah warga non-muslim itu tempat pesta miras dan warga lain terpengaruh jadi pemabuk, seperti ditulis idntimes.com (3/4/2019).
Iswanto, Kepala Dusun Karet, mengatakan bahwa ia bersama sekitar 30-an tokoh masyarakat setempat yang menyetujui peraturan tersebut bertujuan untuk mengantisipasi adanya campur makam antara muslim dan agama lain (kompas.com, 2/4/2019).Â
Untung ada kasus yang menimpa Slamet, akhirnya terkuak bahwa di tingkat pemerintahan paling bawah ada peraturan yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.