Bank Indonesia (BI) baru-baru ini menaikkan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dari sebelumnya sebesar 80%-92% menjadi 84-94%. Rasio ini dulunya bernama Loan to Deposit Ratio (LDR), yakni perbandingan antara kredit yang disalurkan bank dengan dana yang dihimpunnya dari simpanan masyarakat.
Kemudian tahun lalu aturan tentang LDR dikembangkan menjadi RIM dengan memasukkan unsur obligasi (surat utang) yang dibeli bank sebagai penambah dari kredit yang disalurkan, karena hakikatnya bila bank membeli obligasi sebuah perusahaan, sama saja dengan bank mengucurkan kredit kepada perusahaan penerbit obligasi.
Bagi sebuah bank, memang keseimbangan dalam menjalankan fungsi intermediasi (perantara) antara nasabah yang punya kelebihan dana yang menyimpan di bank, dengan nasabah yang membutuhkan dana dengan menerima fasilitas kredit dari bank, sangatlah penting.
Jumlah dana masuk dari simpanan masyarakat yang terlalu besar namun tak bisa disalurkan menjadi kredit kepada dunia usaha, jelas akan membebani bank karena terhadap dana masuk tersebut, bank akan membayar bunga kepada penyimpan.
Sebaliknya bank yang jago dalam menyalurkan kredit sehingga banyak memperoleh pendapatan bunga dari para peminjam, namun tidak mampu menghimpun dana dari para penabung, tentu akan kelimpungan mencari dana. Biasanya akhirnya bank seperti ini akan meminjam dana dari bank lain dengan membayar bunga lebih tinggi ketimbang bunga buat penabung biasa.
Nah, di mata BI, sesuai dengan kondisi saat ini, bank dengan RIM 84%-94% dianggap ideal. Artinya dari jumlah dana yang diperoleh bank, harus tersalurkan menjadi kredit tidak kurang dari 84% tapi juga tidak lebih dari 94%.
Kenaikan RIM dibanding aturan sebelumnya mengindikasikan BI menghendaki bank lebih agresif dalam menyalurkan kredit, agar roda perekonomian berputar lebih cepat lagi. Tentu sepanjang kredit tersebut memenuhi kelayakan sehingga pengembaliannya kepada bank tetap lancar.
Bila bank mengumbar kredit tanpa seleksi yang memadai, malah bisa jadi bumerang, hanya menambah non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah saja. Jadi, kelayakan usaha calon peminjam tetap menjadi syarat mutlak dan integritas petugas bank tak kalah penting agar tidak terjadi fraud.
Namun tujuan menggenjot penyaluran kredit bukan satu-satunya yang diharapkan BI dari kenaikan RIM. Menghindari perang suku bunga dalam menggaet dana nasabah besar, juga jadi pertimbangan.
Dengan RIM yang lama, banyak bank besar yang sudah berada dalam posisi 92% atau mendekati itu, sehingga bila ingin menambah penyaluran kredit, harus mencari dana terlebih dahulu agar tidak melewati batas atas RIM.Â
Padahal cara gampang dalam mencari dana, terutama untuk menjaring deposan kelas kakap, haruslah dengan mengiming-imingi bunga yang lebih besar ketimbang yang ditawarkan bank pesaing.