Tadi malam (23/3/2019) saya kedatangan tamu, famili saya dari Ciputat, Tangerang Selatan. Ceritanya mereka sekeluarga baru saja menjajal MRT dari Stasiun Lebak Bulus ke Bundaran HI, kemudian baru naik taksi ke rumah saya di Tebet, Jakarta Selatan.
Seru juga mendengar pengalaman mereka. Tapi sebetulnya mereka sudah beberapa kali menjajal MRT di luar negeri, seperti juga yang sudah saya alami. Tentu saya membayangkan MRT di Jakarta paling tidak seperti yang saya rasakan di beberapa kota besar dunia, karena saya sendiri belum sempat mencoba yang di Jakarta.
Ternyata tidak begitu, atau tepatnya belum seperti itu, karena kita berharap lama-lama kalau masyarakat sudah terbiasa, perilaku yang tertib akan terbentuk dengan sendirinya.
Soalnya, kata famili saya itu, budaya antre para penumpang sungguh parah. Berdesak-desakan, persis seperti di KRL Jabodetabek saat jam padat penumpang di pagi atau sore hari beberapa tahun lalu, sebelum KRL memakai sistem kartu.Â
Mungkin mumpung masih gratis, sehingga animo masyarakat begitu tinggi mencoba barang baru, yang sebetulnya juga menuntut peradaban baru. Tapi tentu saja membangun peradaban baru itu tidak gampang.Â
Kata famili saya lagi, banyak penumpang yang berlaku norak, berteriak dan bertepuk tangan saat kereta melintas di lintasan bawah tanah. Saya tidak komentari soal norak, karena dalam hati saya sih itu bersifat relatif. Mirip juga kalau kita nonton film di bioskop misbar zaman dulu, penonton bersorak saat jagoan di layar lebar muncul.
Gak apa-apalah masyarakat menikmati sensasi lintasan subway dengan berteriak. Saya yakin kalau sudah ditarik bayaran dan resmi beroperasi, tidak akan terjadi lagi.
Pagi ini saya sengaja berselancar di dunia maya, mencari tahu perilaku ketidaktertiban para penumpang saat menjajal MRT. Ternyata betul, keluhan utama adalah soal berdesak-desakan yang nyaris main sikut-sikutan saat naik MRT dan banyaknya mereka yang menunggu di peron sambil bersender di pembatas kaca, padahal sudah tertulis larangan karena berbahaya bila rangkaian kereta lewat di rel di sebelah pembatas kaca itu tadi.
Perilaku lain yang tidak terpuji adalah membuang sampah seenaknya, terutama bungkus permen, makanan kecil, dan minuman dalam kemasan, baik di stasiun maupun dalam gerbong MRT. Bisa jadi karena demikian banyak orang sehingga mereka malas bergerak mencari tempat sampah.
Tapi berita yang membuat saya agak kaget adalah tentang penumpang yang membawa makanan lalu duduk lesehan di stasiun dengan lahapnya persis seperti yang kita jumpai di banyak obyek rekreasi terbuka seperti di Kebon Binatang Ragunan.
Berita tersebut saya dapatkan dari kompas.com (24/3/2019), yang juga memuat foto seorang ibu yang kedua tangannya memegang gantungan pegangan tangan dengan posisi seperti anak-anak main ayunan. Ada pula, kebetulan juga seorang ibu, yang kedua kakinya naik ke bangku MRT. Tapi kedua foto ini dalam kondisi gerbong yang relatif sepi, berbeda dengan cerita famili saya di atas.