Belum lama ini, saya berkesempatan mengikuti pelatihan yang berjudul "Discover Yourself, Understand Others, Bring Empowerment to All" yang materinya dibawakan oleh dua orang pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Sesuatu yang gampang terlihat, pasti seiring berjalannya waktu akan semakin jelek. Contohnya, wajah artis pujaan saat ia masih berusia sekitar 20-an tahun, dipoles seperti apapun ketika di masa tuanya tidaklah secantik masa mudanya.
Demikian juga untuk barang lain yang terlihat dengan mata telanjang, seperti rumah, mobil, pakaian, televisi, suka atau tidak suka akan mengalami keusangan.
Tapi untuk sesuatu yang tak terlihat, bisa menjadi lebih baik. Itulah yang dimaksudkan dengan karakter, potensi yang ada di dalam diri sendiri, yang ironisnya tidak semua orang bisa mengenal dengan baik apa yang ada pada dirinya.
Soalnya, potensi diri itu ibarat gunung es di tengah laut lepas, yang terlihat di permukaan laut hanya sebagian kecil berupa puncak gunung es, batu karang yang besar justru ada di bawah permukaan. Konon, kapal Titanic yang merupakan kapal tercanggih pada zamannya, tenggelam karena kapten kapal melihat gunung es masih jauh, ternyata sudah amat dekat yang di bawah permukaannya.
Demikian juga dengan gambaran dari diri sendiri atau seseorang yang lain. Yang terlihat hanya "pucak gunung es"-nya. Makanya jangan pernah memberi label seseorang bahwa si A selalu nakal, si B pasti suka hura-hura. Kata-kata "selalu", "pasti", sebaiknya tidak kita pakai untuk menggambarkan seseorang, karena bisa berubah.
O ya, beberapa hari sebelum ikut pelatihan, kami para peserta diwajibkan mengisi kuesioner secara online berisi 100 pertanyaan. Seperti kebiasaan saya dalam mengisi kuesioner apapun, saya ingin melakukan secara cepat sehingga tidak terlalu serius membacanya.
Tapi begitu di ruang pelatihan, masing-masing peserta mendapat satu buku "potret diri", saya merasa potret saya yang disarikan dari kuesioner yang saya isi, ternyata menghasilkan sesuatu yang menurut saya mampu menggambarkan diri saya yang sebenarnya, termasuk hal yang tersembunyi.
Padahal saya mengisi kuesioner agak asal-asalan. Belakangan instrukturnya mengatakan justru dengan mengisi secara spontan, potret diri akan lebih realistis, dibanding mereka yang mengisi seperti layaknya mengisi soal ujian untuki mencari jawaban yang benar.
Soalnya, dalam potret diri tidak mengenal benar salah, semuanya benar. Maksudnya untuk menjadi orang yang sukses tak ada rumusan orangnya harus bertipe tertentu. Seorang introvert bisa sukses seperti juga seorang yang ekstrovert. Seorang yang hati-hati bisa berhasil seperti juga seorang yang berpikir radikal.
Setelah mengenal potret diri sendiri, maka bila kita ingin berhasil tentu treatment yang harus dilakukan seseorang berbeda-beda tergantung potretnya, atau bisa memilih bidang-bidang yang memang pas dengan kekuatan yang dipunyainya.