Saya merasa mendapat banyak pelajaran setelah membaca artikel yang ditulis seorang "Legenda Kompasiana", Pak Tjiptadinata Effendi, yang berjudul "Hindari Investasi Abadi". Artikel tersebut ditayangkan 1 Februari 2019 lalu.Â
Saya sendiri yang kebetulan sama-sama berasal dari Sumatera Barat seperti Pak Tjipta, sekitar belasan tahun lalu juga hampir tergiur berinvestasi di perkebunan kepala sawit di Sumatera Barat, yang telah dipecah berupa unit-unit dengan lahan lebih kecil, sehingga bisa dimiliki oleh mereka yang punya dana terbatas.Â
Teman kerja saya di sebuah BUMN di Jakarta, yang juga "urang awak" ada yang mengambil beberapa unit kebun sawit, dan sampai beberapa tahun setelah itu mengaku cukup puas. Â Maksudnya tingkat pengembalian kebun sawit yang menggunakan pola bagi hasil dengan warga sekitar yang diserahi tugas merawat kebun, berjalan lancar.
Dalam ilmu ekonomi ada teori yang menyebutkan: "high risk, high return" dan tentu juga berlaku sebaliknya "low risk, low return". Investor yang memburu tingkat pengembalian tinggi, memang punya risiko yang tinggi pula. Dan saya kebetulan tipe orang yang tergolong safety player, cari aman saja, lebih melihat risiko yang paling rendah, meski harus puas dengan pengembalian yang juga rendah.
Maka menyadari karakter saya yang seperti itu, saya menampik bujukan teman saya untuk coba-coba berkebun sawit. Bukan apa-apa, saya hanya takut kenyataan nanti tak seindah bayangan semula. Mugkin awalnya akan bagus, tapi setelah beberapa lama, boleh jadi muncul hal tak terduga.Â
Teman saya berani ambil risiko karena punya saudara di Padang yang bisa sering-sering mengontrol kebun dan sekaligus berinteraksi dengan petugas yang merawatnya. Sedang saya sendiri tak punya orang kepercayaan seperti itu.
Kalau boleh mengomentari (tanpa mengurangi rasa hormat saya pada pak Tjipta), pilihan Pak Tjipta yang ternyata mendatangkan kerugian seperti investasi di perkebunan, tanah dan ruko, mungkin bukan keliru pada jenis investasinya, tapi pada proses yang dilewati.
Seandainya ada semacam tahap due dilligence, dalam arti meneliti dahulu validitas dokumen yang berkaitan dengan aset yang kita sasar serta melakukan peninjauan on the spot, lalu ditambah lagi dengan minta pendapat dari pihak lain yang netral (bukan orang dari pihak penjual aset), baru diputuskan untuk investasi atau tidak, maka kondisinya akan lebih terkendali.
Maaf, saya hanya bisa berteori, justru kalau didesak bagaimana cara menguji keaslian dokumen dan apa saja check-list saat meninjau ke lapangan, saya juga gelagapan menjawabnya.
Maka dari itu sebagai seorang yang sudah berusia di atas 50 tahun, saya memberi saran pilihan investasi abadi yang aman, dalam arti risikonya relatif rendah, dan kita tidak perlu sering-sering mengontrolnya, ibarat kata kita bisa tidur nyenyak. Contohnya adalah emas batangan, deposito di bank papan atas, dan surat berharga yang diterbitkan negara.
Untuk deposito dan surat berharga negara, bagi yang sensitif dengan penerimaan bunga, dapat memilih yang menerapkan prinsip syariah, yang untuk surat berharga negara disebut dengan sukuk.Â