Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menumbuhkan Kembali Budaya Jalan Kaki

23 Januari 2019   10:54 Diperbarui: 23 Januari 2019   11:09 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak trotoar sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta, dirombak menjelang Asian Games tahun lalu, praktis saya sudah amat jarang membawa kendaraan sendiri ke kantor tempat saya bekerja di sebuah gedung jangkung di jalan utama ibukota tersebut. 

Dari rumah di kawasan Tebet, Jakarta  Selatan, saya memilih naik Transjakarta rute Tebet-Karet, kemudian menyusuri trotoar beberapa ratus meter ke kantor. Meskipun sebetulnya ada alternatif lain yakni naik Transjakarta lagi, rute Senayan-Gambir yang dicegat di halte Karet. Cara alternatif ini saya manfaatkan saat hujan atau sore pulang dari kantor karena capek bila berjalan kaki lagi.

Saya sengaja memilih jalan kaki di pagi hari karena matahari belum begitu terik. Lagi pula pepohonan di trotoar sebagian sudah mulai tinggi dan enak di pandang mata. Tentu juga saya bermaksud sekalian mencari keringat secara nyaman di trotoar yang lebar dan indah tersebut. 

Saya juga suka menikmati kesibukan kota di pagi hari, melihat keramaian lalu lintas, orang kantoran yang masih rapi jali turun dari kendaraan, dan tercium aroma wangi dari para karyawati yang berdandan modis yang kebetulan berpapasan. 

Yang saya heran, trotoar yang amat lebar itu jadi terasa sepi karena relatif sedikit warga yang memanfaatkannya. Memang ada muntahan penumpang bus, ojek motor, dan taksi baik yang reguler maupun yang online yang turun di pinggir jalan, tapi itu hanya berjalan kaki beberapa puluh langkah saja. 

Jelas sangat berbeda dengan pemandangan di kota-kota besar dunia, di mana para penumpang yang baru keluar dari stasiun subway meyemut menyesaki trotoar dan menumpuk di dekat lampu lintas menunggu warna hijau menyala untuk bergegas menyeberang jalan raya.

Tentu banyak yang berpikiran, jangan dibandingkan dengan negara maju dong, mereka kan punya public transportation yang nyaman. Oke, sebetulnya Jakarta pun mulai ke arah sana, dengan akan segera beroperasinya MRT. Transjakarta juga sekarang semakin bagus pelayanannya. Bagi yang belum mencoba, silakan dicoba dan jangan antipati duluan.

Maka tulisan ini ingin menggugah agar masyarakat kembali menumbuhkan budaya jalan kaki untuk jarak yang masih bisa ditempuh sekitar 15 menit. Soalnya dulu sebelum ojek motor bersliweran memenuhi jalan raya, budaya itu pernah ada. 

Tapi sekarang orang berjalan kaki jadi terlihat aneh. Ini juga saya alami saat berlalan kaki setiap pagi. Saya harus berkali-kali menolak tawaran tukang ojek motor yang mungkin heran kok ada orang yang memilih jalan kaki.

Ini tidak hanya dialami oleh warga kota besar, karena di kota asal saya, Payakumbuh, Sumatera Barat, anak sekolah tidak lagi ramai-ramai jalan kaki seperti yang saya lakoni puluhan tahun lalu, berjalan kaki sejauh sekitar 1,5 km. Sekarang mereka memilih menunggu angkot lewat atau menumpang ojek motor. Tentu menjadi beban orang tuanya untuk memberi ongkos transpor di samping uang jajan di sekolah.

Sengaja saya menulis hal ini untuk melengkapi banyak tulisan kompasianer yang menuntut hak pejalan kaki. Saya sepenuhnya mendukung, karena sangat tidak tepat bila trotoar digunakan buat selain para pejalan kaki, seperti dipakai oleh pedagang maupun dilalui sepeda motor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun