Akhirnya Edy Rahmayadi membuat kejutan saat PSSI melaksanakan kongres di Bali, Minggu (20/1), dengan menyatakan mundur dari kursi Ketua Umum PSSI. Padahal sebelumnya Edy bersikukuh mempertahankan jabatannya meskipun desakan dari masyarakat semakin kuat.
Memang normalnya, periode kepemimpinan Edy Rahmayadi masih tersisa sampai tahun depan. Tapi karena Edy terpilih menjadi Gubernur Sumatera Utara, ditambah lagi terkuaknya kasus pengaturan skor oleh mafia bola pada beberapa pertandingan di Liga 2 dan Liga 3, tuntutan agar Edy mundur punya alasan yang masuk akal.
Edy Rahmayadi menjadi ketua umum  yang ke 16 di organisasi yang mengurus persepakbolaan nasional itu. PSSI memiliki catatan sejarah yang panjang dan sudah memasuki tahun ke 89, jauh lebih tua dari umur Republik Indonesia.
Prestasi terbaik timnas tercatat pada era kepemimpinan Maladi (1950-1959) dan Kardono (1983-1991). Pada era Maladi, timnas menembus semi final Asian Games 1954 dan meraih medali perunggu Asian Games 1958.Â
Timnas juga tampil di Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia, dan menahan imbang Uni Soviet 0-0, kisah heroik menjadi kebanggaan yang sering dikutip sampai sekarang.Â
Kemudian pada era Kardono, timnas pernah dua kali meraih medali emas Sea Games, tahun 1987 di Jakarta dan 1991 di Manila. Di samping itu timnas juga menjadi semi finalis Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan.
Perlu diingat kembali bahwa carut marut di wajah sepak bola kita sudah turun temurun sejak beberapa periode kepemimpinan sebelum Edy, terutama sejak dipegang Nurdin Halid tahun 2003, yang berlanjut ke Johar Arifin dan puncaknya pada era La Nyala Mattalitti yang akhirnya dibekukan pemerintah.
Seiring dengan carut marut tersebut, timnas senior tidak pernah lagi meraih prestasi yang membanggakan, meskipun ada hadiah kecil yang menjanjikan seperti juara AFF di level U-19 tahun 2013.
Nah, saat Edy naik ke tampuk kekuasaan PSSI, harapan masyarakat melambung tinggi, mengingat gaya militernya yang mungkin cocok dengan masalah laten yang dihadapi, carut marut itu tadi.Â
Dulu, Kardono yang juga militer berhasil melahirkan timnas yang berprestasi. Meskipun Agum Gumelar, sama-sama militer, kurang berhasil.