Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mencermati Fenomena "January Effect" dalam Perdagangan Saham

22 Januari 2019   11:58 Diperbarui: 24 Januari 2019   16:19 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perdagangan saham dikenal adanya istilah January Effect (selanjutanya disingkat JE), yaitu kondisi anomali ketika  pada bulan Januari harga saham secara umum mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini tercermin pada indikator Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa yang memperdagangkan saham di banyak negara.

Tulisan ini hanya mencermati JE yang terjadi di Busa Efek Indonesia (BEI). Bila melihat sampai penutupan perdagangan saham Senin (21/1) kemaren, IHSG di BEI sudah mencapai level 6.448, suatu peningkatan tajam dibanding level penutupan akhir tahun 2018 sebesar 6.195. Apalagi bila diingat bahwa pada pertengahan tahun lalu, sekitar Juni-Juli, IHSG pernah anjlok ke level 5.600-an. 

Namun jangan lupa bahwa justru di tahun lalu pula rekor IHSG sepanjang sejarah dicetak, yang terjadi pada penutupan perdagangan tanggal 19 Februari 2018 yang mencapai level 6.689. Jadi, JE tahun lalu kebablasan sampai Februari. Adapun rekor selama Januari 2018 terjadi tanggal 29 Januari 2018 dengan level 6.680.

Menarik untuk ditunggu, apakah di sisa beberapa hari lagi sebelum akhir bulan Januari 2019, masihkah IHSG akan naik? Yang jelas faktanya bila melihat pergerakan secara harian sejak bursa dibuka 2 Januari 2019, setiap hari terjadi kenaikan dibanding sehari sebelumnya, kecuali di tanggal 8 Januari.

Memang di banyak bursa luar negeri, JE terjadi hanya sampai minggu ketiga. Kenapa begitu? Menurut beberapa referensi, hal itu sebagai imbas dari banyaknya investor yang melepas sahamnya menjelang tutup tahun sebelumnya.

Alasan investor melepas saham di akhir tahun terutama untuk merealisasikan capital gain, bila harga saham yang dimilikinya sudah di atas harga sebelumnya saat saham tersebut dibeli sang investor. Hal ini  sekaligus untuk memperoleh fresh money, agar pada laporan keuangan perusahaan terlihat lebih likuid.

Nah, setelah tahun berganti, investor yang sudah punya fresh money itu tadi kembali masuk bursa dengan membeli saham berbagai perusahaan yang prospektif. Jika ini dilakukan secara serentak oleh banyak investor, wajar bila akhirnya muncul fenomena JE.

Tapi pada minggu ketiga, biasanya fresh money  sebahagian besar terbelanjakan lagi. Justru karena pada minggu ketiga Januari harga saham banyak yang sudah terkerek, sebagian investor tergoda untuk menjual sahamnya, untuk menangguk untung, sehingga pada minggu keempat Januari, IHSG kemungkinan sedikit terkoreksi.

Memang fenomena tahun lalu ketika JE bablas sampai bulan Februari bisa dibilang sebagai pengecualian. Tahun ini kemungkinan para investor lebih wait and see untuk memborong saham, karena kebetulan lagi tahun politik. Ditambah lagi perang dagang Amerika Serikat versus China belum jelas solusinya, dan akan berimbas ke negara lain termasuk Indonesia.

Makanya bagi investor, pertanyaannya adalah akankah mereka berpendapat bahwa sekarang masih tepat untuk membeli saham karena memprediksi nantinya saham tersebut masih akan naik lagi harganya, atau justru mumpung harga saham lagi tinggi, saatnya untuk menjual saham yang telah dimiliki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun