Komposisi penduduk Indonesia sekarang ini mulai didominasi oleh generasi milenial, yakni mereka yang lahir pada tahun 1980 sampai 1999. Menurut data dari Biro Pusat Statistik (BPS), dari 261,8 juta penduduk negara kita pada tahun 2017, 176,8  juta di antaranya merupakan penduduk usia produktif. Dan dari penduduk usia produktif tersebut, sekitar 80 juta termasuk generasi  milenial.
Gaya hidup generasi milenial tentu berbeda dengan generasi sebelumnya. Dulu, begitu seseorang meraih gelar sarjana, langsung berburu kerja. Begitu dapat pekerjaan di tempat yang mapan, maka rata-rata loyalitas mereka akan bertahan sampai memasuki masa pensiun.Â
Mereka tergolong hemat, karena punya target begitu menikah, tidak lagi mengontrak tempat tinggal, namun sudah mempunyai rumah sendiri. Hal ini bisa terwujud karena dimungkinkan membeli rumah dengan mendapat fasilitas kredit dari bank.
Makanya keberadaan Bank Tabungan Negara (BTN) sangatlah membantu generasi terdahulu. Bank ini memang diakui sebagai juaranya dalam menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).Â
Bayangkan, terhitung sejak 10 Desember 1976, saat KPR pertama kali direalisasikan dengan ditandatanganinya akad KPR atas nama nasabah BTN Kantor Cabang Semarang, maka sampai sekarang telah 42 tahun bank pelopor KPR ini tetap menjadi yang terdepan.Â
Secara akumulatif BTN telah memberikan KPR senilai hampir Rp 500 triliun untuk 5 juta orang. Bila diasumsikan satu rumah dihuni oleh empat orang yang terdiri dari suami, istri, dan dua anak, maka paling tidak sudah 20 juta masyarakat Indonesia yang memiliki rumah berkat KPR dari BTN.
Akhirnya gaji generasi milenial relatif banyak dihabiskan buat traveling dan membeli produk branded, karena alasan itu tadi, bisa dipamerkan dengan harapan menuai ribuan like dari teman dunia mayanya.
Atas dasar itulah, banyak pengamat properti yang mengingatkan generasi milenial agar berubah. Kalau mementingkan gaya hidup terus, bisa-bisa sampai nantinya di usia tua, akhirnya tak kan mampu beli rumah (kompas.com, 26/1/2018). Sungguh keliru bila mereka hanya tinggal di tempat kos-kosan demi memuaskan gaya hidup yang hedonis.
Tapi, bisa jadi generasi milenial tidaklah separah yang diduga. Kalau saja dilakukan pendekatan dengan bahasa anak muda, tentu akan lain hasilnya. Mereka mungkin tidak sabar kalau harus bolak balik datang ke bank dan ke developer perumahan dengan mengisi berbagai formulir yang bikin ribet. Mereka ingin kemudahan yang dapat dilakukan melalui berbagai aplikasi yang terpasang di gadget mereka.