Dalam kehidupan kita sehari-hari, keinginan untuk memiliki sesuatu barang menjadi salah satu hal yang sulit dikendalikan. Apalagi di zaman sekarang, iklan penawaran barang demikian gencar menggempur dari segala penjuru, sehingga tanpa izin sudah ada di depan mata, bahkan dalam genggaman tangan.
Akibatnya, kebutuhan tersedianya uang buat memenuhi keinginan berbelanja tersebut menjadi penting dan mendesak. Dulu, untuk mendukung gaya hidup konsumerisme seperti itu, banyak orang yang memanfaatkan kartu kredit dari bank, yang terkesan mengobral kartunya.
Tak heran bila ada orang yang penghasilannya pas-pasan, tapi punya lebih dari 5 buah kartu kredit. Akibatnya kegunaan kartu yang banyak tersebut adalah untuk "gali lobang tutup lobang", yakni mengambil kredit dari bank B untuk menutup utang di bank A. Lama-lama utangnya bertumpuk dan menjadi bulan-bulanan petugas penagih dari bank atau dari debt collector yang bekerjasama dengan bank.
Melihat persaingan antar bank penerbit kartu kredit yang kurang sehat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat peraturan pembatasan jumlah kartu kredit yang boleh dimiliki seseorang yang tergantung dari penghasilan bulanannya.
Setelah kartu kredit relatif tenang, ternyata sekarang ini marak pinjaman yang didapat secara daring, yang bahkan jauh lebih mudah dan lebih cepat prosesnya ketimbang mendapatkan kartu kredit.Â
Calon peminjam pun membludak, ibaratnya berbagai aplikasi pinjaman daring tersebut dilihatnya seperti dewa penolong. Mereka tak lagi peduli apakah pihak yang mengelola pinjaman tersebut sudah mengantongi izin dari OJK atau belum.
Ada kesan pihak pengelola sengaja tidak menyeleksi calon peminjam, tidak seperti bank yang meneliti dulu faktor 5C dari calon nasabah (character, capacity, condition, capital dan collateral), sebelum memutuskan memberikan pinjaman atau tidak.
Sepanjang data identitas diri calon peminjam sudah valid, permohonan kredit langsung diproses tanpa menghitung apakah si nasabah nanti akan mampu mengembalikannya tepat waktu.Â
Soalnya, pengelola punya berbagai cara dalam memaksa peminjam untuk mengembalikan pinjamannya, termasuk dengan cara mempermalukan peminjam di grup media sosial yang diikutinya.Â
Hal itu bisa terjadi karena data pertemanan nasabah di grup media sosial dapat diakses oleh pengelola kredit, begitu ia menjadi peminjam.Â
Perlu dicatat bahwa bunga yang dikenakan pengelola jauh lebih mahal dari yang berlaku di bank, dan setiap keterlambatan berarti menambah beban bunga.