Gonjang ganjing divestasi saham Freeport sudah berakhir dengan adanya kesepakatan bahwa Freeport bersedia menjual sebagian sahamnya, dan PT Inalum (Persero) ditunjuk untuk membeli saham Freeport yang dilepas ke pihak Indonesia. Namun demikian, meskipun tidak sampai menjadi polemik, sebetulnya beberapa pengamat meragukan kesiapan Inalum, yang nota bene adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tergolong kecil yang dulu mengelola tambang aluminium di Asahan, Sumatera Utara.
Inalum sendiri adalah akronim dari Indonesia Asahan Aluminium yang saat didirikan tahun 1976 berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) karena dibentuk oleh 12 perusahaan kimia dan metal dari Jepang. Kemudian pada tahun 2013 baru status PMA-nya dicabut karena diakuisisi pemerintah sehingga menjadi sebuah BUMN.
Selanjutnya sejak November 2017 Inalum mulai bergaung namanya ketika pemerintah menjadikannya sebagai holding company atau induk perusahaan dari semua BUMN yang bergerak di bidang pertambangan. Dengan demikian, beberapa BUMN seperti Aneka Tambang, Bukit Asam, dan Timah, sekarang menjadi anak perusahaan dari Inalum. Dari situ sudah tercium rencana akan ditunjuknya Inalum sebagai pembeli saham Freeport.
Budi Gunadi Sadikin, seorang bankir yang terakhir menduduki kusi Direktur Utama Bank Mandiri ditunjuk menjadi Direktur Utama Inalum sejak September 2017 dengan dua tugas besar yakni menuntaskan proses pembentukan holding company dan akuisisi saham Freeport.Â
Inalum tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit buat membeli saham Freeport. Inilah yang diragukan beberapa pengamat, dari mana sumber pendanaan untuk transaksi senilai sekitar Rp 58 triliun tersebut?
Memang, kalau pemerintah "memaksa" 4 bank BUMN (Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN) buat memberikan kredit secara bersama (lazim disebut sebagai kredit sindikasi), mungkin masalah pendanaan bisa terpecahkan. Tapi ingat, dalam regulasi perbankan, ada yang namanya legal lending limit atau batas maksimal pemberian kredit kepada suatu perusahaan yang dikaitkan dengan besaran modal dari masing-masing bank.
Bisa jadi komposisi kredit dari masing-masing bank bisa diatur agar tidak menabrak regulasi tersebut. BTN sebagai bank BUMN terkecil, porsi kreditnya untuk Inalum juga kecil. Masalahnya, hitung-hitungan studi kelayakannya dengan memakai format analisa permohonan kredit yang dipakai bank sebagai acuan, belum tentu masuk.
Bank sangat berhati-hati dalam meberikan kredit karena bila nanti tingkat pengembaliannya seret akan mengganggu likuiditas bank. Lagipula sumber dana yang disalurkan bank sebagai kredit tersebut, berasal dari uang masyarakat juga yang disimpan berupa tabungan, giro, dan deposito. Artinya, bank harus bertanggungjawwab pada masyarakat yang mempercayakan uangnya di suatu bank. Â
Tapi syukurlah, akhirnya Inalum berhasil mendapatkan dana bukan dari kredit bank, melainkan dari penerbitan obligasi berupa global bond. Seperti diberitakan oleh detik.com (16/11) lalu, Inalum telah memperoleh dana sebesar US$ 4 miliar atau setara Rp 58,4 triliun, yang nantinya akan dipergunakan untuk membeli saham Freeport.
Pembeli global bond, biasanya adalah fund manager dari luar negeri. Di satu sisi, hal ini menggembirakan karena Indonesia tetap dinilai prospektif oleh pihak asing. Tapi di sisi lain menimbulkan tanggung jawab besar agar pada saat jatuh tempo (dari berita detik.com dimaksud, global bond yang diterbitkan Inalum terdiri dari 4 seri, dengan jangka waktu bervariasi masing-masing 3 tahun, 5 tahun, 10 tahun, dan 30 tahun), Inalum sudah punya dana untuk mengembalikannya pada pembeli bond tersebut.
Logikanya, Inalum tidak akan kesulitan, dengan asumsi bisnis pertambangan Freeport masih cemerlang seperti sebelumnya. Tapi ada saja pengamat yang meragukan, jangan-jangan deposit tambang yang tersisa tidak sebesar yang digembar-gemborkan. Atau kalaupun deposit itu masih besar, biaya penggaliannya semakin mahal.Â