Media abal-abal di zaman arus informasi yang berseliweran di depan mata kita tanpa diundang, sudah sampai pada tahap yang meresahkan. Sudah begitu, sebagian dari pembaca media tersebut percaya begitu saja dan gampang terprovokasi untuk menyebarkan berita palsu itu, sehingga akhirnya semakin banyak yang meyakininya sebagai fakta yang sesungguhnya.
Memang ada semacam kondisi yang dilematis. Di satu sisi kita harus menerima bahwa kebebasan pers diperlukan agar masyarakat mendapat informasi yang seluas-luasnya dari berbagai sudut pandang.
Tapi di sisi lain, ada pihak yang tidak bertanggung jawab dengan kebebasan itu, dan parahnya tingkat literasi sebagian besar masyarakat masih tergolong rendah, sehingga belum mampu menyaring informasi yang berseliweran itu tadi.
Maka, mau tak mau, pihak berwenang memang perlu membuat aturan yang bisa menertibkan kondisi yang tidak diinginkan seperti itu.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat (Sumbar) telah mengambil langkah bijak yang dapat direplikasi oleh daerah lain. Melalui Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2018 , dibuat ketentuan terkait tata cara penyebaran informasi resmi dari pemprov dengan pihak media, yang hanya disalurkan pada media massa yang telah memenuhi sejumlah kriteria (Kompas, 7/11).
Kriteria tersebut yakni, terdaftar di Dewan Pers atau minimal telah terverifikasi secara administratif, memilik penanggung jawab media atau redaksi yang memenuhi kompetensi sebagai wartawan utama, berbadan hukum, punya visi dan misi, punya struktur dewan redaksi yang aktif, memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), memiliki nomor rekening yang aktif, memiliki  surat izin usaha perdagangan (SIUP) dan tanda daftar perusahaan (TDP), biro humas bekerjasama dengan satu perusahaan yang hanya berlaku buat satu media, memiliki perwakilan wartawan yang dibekali surat tugas resmi dan sudah mengikuti uji kompetensi wartawan paling lambat 1 Januari 2020, aktif melakukan penerbitan dua tahun terakhir, dan tidak didanai pihak asing.
Apakah kriteria itu terlalu berlebihan? Bagi media yang memilik reputasi tinggi sebetulnya sudah punya semua yang dipersyaratkan di atas. Tapi memang bagi media yang baru memulai usaha, mungkin agak berat juga, padahal belum tentu media baru berperilaku seperti media abal-abal.
Tapi satu hal yang pasti, peraturan seperti itu di berbagai daerah perlu pula dibuat. Bahwa kriterianya mungkin tidak seberat di Sumbar, boleh-boleh saja.
Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, dalam seminar Tantangan dan Peluang Indeks Kebebasan Pers yang digelar Dewan Pers di Tangerang, Banten (6/11), menyatakan bahwa ia tak bermaksud menghalangi kebebasan pers.
Justru dengan aturan itu akan tercipta pers yang bebas dan bertanggung jawab. Bagi pers yang profesional tentu telah atau akan memenuhi semua persyaratan di atas.
Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, mengatakan bahwa Pergub Sumbar tersebut mengadopsi beberapa peraturan dan pedoman Dewan Pers. Makanya Yosep berharap apa yang dilakukan di Sumbar bisa menginspirasi daerah lain yang juga kewalahan menghadapi media abal-abal.