Judul tulisan ini diambil secara utuh dari judul berita yang digunakan oleh kompas.id (25/10) kemaren, yang merupakan ucapan Presiden Joko Widodo ketika menyerahkan ribuan sertifikat tanah bagi masyarakat Kalimantan Timur di Samarinda, Kamis 25 Oktober 2018. Presiden membolehkan sertifikat tersebut "disekolahkan", tapi harus untuk modal usaha, bukan untuk membeli barang yang tidak perlu.
Maksud "disekolahkan" di atas diperjelas oleh berita di kompas.id tersebut dengan mencontohkan meminjam uang di bank. Tapi Presiden menekankan bahwa pinjaman itu betul-betul untuk modal usaha. Usaha akan berkembang bila dilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga bisa melunasi pinjaman di bank, dan sertifikat bisa dipegang lagi oleh yang punya.
Harus diakui, banyak sekali kemajuan yang langsung dirasakan masyarakat sejak Joko Widodo menjadi Presiden. Salah satunya adalah pembuatan sertifikat tanah secara cepat dan massal, lalu diserahkan kepada pemilik tanah yang namanya tercantum di sertifikat. Dengan demikian, ada kepastian hukum sebagai bukti kepemilikan.
Bayangkan  apabila tidak dibantu oleh pemerintah, masyarakat akan terbebani karena mengurus sendiri sertifikat tanah relatif lama dan mahal. Makanya, kalau masyarakat  sangat senang menerima sertifikat tentu bisa dipahami. Apalagi, itu tadi, bisa "disekolahkan".
Tapi tunggu dulu, apakah memang dengan menyerahkan sertifikat sebagai jaminan, bank langsung begitu saja mengucurkan uang? Nah, ini yang perlu dimengerti, bahwa yang namanya bank bukanlah lembaga pegadaian. Jangan sampai masyarakat yang belum melek keuangan beranggapan "menyekolahkan" sertifikat di bank, seperti menggadaikan barang.
Bank hanya menjadikan sertifikat tanah sebagai jaminan tambahan. Lalu apa yang jadi jaminan utamanya? Jaminan utama dari suatu kredit usaha bank adalah kemampuan peminjam dalam mendapatkan laba dari usaha yang dilakukannya. Artinya, calon peminjam harus sudah punya usaha terlebih dahulu, dan terbukti usaha tersebut menguntungkan, karena mempunyai pelanggan yang banyak.Â
Justru karena si pengusaha kekurangan modal, ia tidak mampu melayani permintaan pelanggan yang semakin bertambah. Dalam hal ini, si pengusaha dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan kredit dari bank. Pihak bank akan melihat prospek usahanya, dan kalau kalkulasinya "masuk" (tentu juga setelah meyakini bahwa si pengusaha berkarakter baik), bank setuju untuk mengucurkan kredit.Â
Sebagai tindakan pengamanan, bank meminta jaminan tambahan, bisa berupa bukti kepemilikan kendaraan, tanah, rumah, dan sebagainya, tergantung besarnya kredit. Jaminan tambahan akan dieksekusi, kalau terjadi kredit macet. Itupun tidak serta merta dieksekusi, karena harus melalui beberapa tahapan, termasuk musyawarah dengan peminjan. Bila hasil lelang lebih besar dari utang nasabah, selisihnya menjadi hak nasabah.
Kenapa bank demikian berhati-hati dalam memberikan pinjaman? Ini yang sering dilupakan orang, bahwa bank pun sebetulnya adalah peminjam. Meminjam kepada siapa? Kepada banyak orang yang punya uang dan "menyekolahkannya" di bank dalam bentuk deposito, tabungan dan giro.Â
Bukankah itu pada hakikatnya bank juga meminjam ke masyarakat? Meskipun si penabung tidak merasa meminjamkan, dan pihak bank pun tidak pernah minta pinjaman ke penyimpan uang, hanya berpromosi saja; "Menabunglah di bank kami, dengan hadiah bla...bla...bla...".
Jangan rancu dengan iklan bank yang mengklaim bisa memberikan pinjaman instan, sehari diproses langsung cair. Yang model beginian adalah pinjaman konsumtif atau consumer loan yang dinikmati oleh mereka yang punya penghasilan tetap.Â