Gejolak perekonomian akhir-akhir ini yang ditandai dengan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar Amerika Serikat, serta makin turunnya indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia, mulai membawa problem kepada beberapa perusahaan.
Salah satu perusahaan yang mencuat ke permukaan karena kesulitan likuiditas adalah perusahaan asuransi jiwa milik negara, Jiwasraya. Baru-baru ini terungkap berita tentang Jiwasraya yang menunda pembayaran polis nasabahnya yang telah jatuh tempo sejak 1 Oktober lalu. Berita ini awalnya dimuat oleh kontan.co.id (11/10) dan kemudian diramaikan oleh banyak media lainnya.
Menurut Asmawi Syam, Direktur Utama Jiwasraya yang menjabat sejak 18 Mei 2018, perusahaannya mempunyai produk polis asuransi yang berbalut investasi, yang dinamakan saving plan. Produk yang dijual melalui sejumlah bank yang bekerja sama dengan Jiwasraya ini mulai beredar di masyarakat sejak tahun 2013 untuk jangka waktu 5 tahun.
Sampai 30 September 2018, Jiwasraya masih mampu membayar kewajibannya dengan mengembalikan pokok investasi nasabah ditambah bunga atau imbal hasil sesuai yang tercantum pada polis.
Namun setelah itu, terhadap polis sejumlah Rp 802 miliar yang telah jatuh tempo yang dimiliki oleh 711 orang nasabah dan disalurkan melalui 11 bank, Jiwasraya menunda pembayarannya.
Kompas (13/10) menurunkan hasil wawancara wartawannya dengan Asmawi Syam terkait persoalan yang dihadapi Jiwasaraya. Mantan Direktur Utama BRI tersebut mengharapkan agar para nasabah memperpanjang waktu pencairan polis asuransi, yang biasa disebut di-roll over. Pasti dibayar, kata Asmawi lebih lanjut. Sedangkan bagi nasabah yang tidak mau memperpanjang pencairan polis, Jiwasraya akan mencari pendanaan sementara.
Komentar dari pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang bertugas mengawasi usaha keuangan, termasuk asuransi, meminta masyarakat tidak perlu mengkahwatirkan tekanan likuiditas yang dialami Jiwasraya. OJK sudah take care, kata Riswinandi, Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK (kompas.com 13/10).
Dalam bisnis asuransi, memang lazim menggunakan uang yang diterima dari nasabah untuk dibelikan kepada produk surat berharga yang diperdagangakan di Bursa Efek Indonesia (BEI) seperti saham dan obligasi, atau membeli berbagai produk reksadana, dengan motif untuk mendapatkan keuntungan.Â
Tapi, dalam kebijakan investasi dari suatu perusahaan asuransi, harusnya punya pedoman, berapa persen komposisi maksimal untuk membeli surat berharga yang berisiko tinggi, karena dalam kondisi perekonomian yang bergejolak, harganya bisa turun drastis, sehingga bila surat berharga itu dilepas, tentu menuai kerugian. Namun bila masih ditahan menunggu situasi membaik, perusahaan akan kekurangan likuiditas.
Nah, hal itu jugalah yang terjadi di Jiwasraya. Hexana Tri Sasongko, Direktur Investasi dan Teknologi Jiwasaraya menceritakan ihwal macetnya pembayaran dana nasabah yang telah jatuh tempo yang dimuat oleh kontan.co.id (11/10). Â
Menurut Hexana, dari total dana kelolaan saving plan, sebanyak 75% berbentuk aset produk finansial, seperti saham, reksadana, surat berharga negara (SBN), obligasi korporasi dan obligasi BUMN.Â
Yang menjadi persoalan, lanjut Hexana, Jiwasraya tidak bisa mencairkan asetnya di saham, yang saat ini sedang mengalami penurunan nilai aset akibat kondisi pasar yang tengah tertekan. "Sebagai BUMN, kami tidak bisa cut loss," terang Hexana.
Sampai di sini, sepertinya terang benderang, Jiwasraya menjadi salah satu korban gejolak perekonomian (untuk tidak menyebutnya sebagai krisis) yang menghantam Indonesia karena faktor global.Â
Namun kalau dikritisi, kebijakan manajemen Jiwasraya yang menempatkan investasinya sebasar 75% dalam bentuk produk finansial yang rentan terdampak gejolak, maka bisa dibilang terlalu berani dan spekulatif. Bila dana tersebut lebih banyak ditempatkan sebagai deposito di bank-bank papan atas, logikanya akan lebih aman.
Menarik pula menyimak pendapat pengamat asuransi, Herris Simanjuntak  yang mengatakan bahwa penyebab penundaan pembayaran polis Jiwasaraya adalah karena masalah tata kelola (corporate governance) di perusahan plat merah tersebut. Hal ini ditambah lagi dengan penerapan manajemen risiko yang masih kurang pas dan masalah compliance (kepatuhan) terhadap peraturan, ujar Herris seperti dikutip dari Antara (12/10).
Herris secara lebih spesifik menyoroti soal kecukupan pencadangan yang dimiliki Jiwasraya. Terjadinya penundaan pembayaran kepada nasabah menunjukkan ada masalah pada pencadangan perusahaan.Â
Sebagai catatan, OJK telah membuat ketentuan tentang pencadangan yang harus dipatuhi semua perusahan asuransi, antara lain agar saat jatuh tempo kewajiban kepada nasabah, pihak asuransi tidak mengalami kesulitan.
Lalu, menjadi pertanyaan, kasus Jiwasraya apakah lebih dominan karena tekanan pasar yang lagi bergejolak atau lebih dominan karena salah tata kelola? Ini PR yang tidak ringan bagi OJK, namun penting untuk dituntaskan agar di masa mendatang persoalan serupa tidak terulang, dan perusahaan asuransi bisa tahan terhadap gejolak perekonomian.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H