Namun bila proses ngetop itu dilakukan setahap demi setahap, agaknya lebih langgeng. Itulah yang terjadi pada Inul Daratista atau Soimah, sekadar menyebut dua contoh. Tanpa ikut ajang pencarian bakat, tapi konsisten bergoyang dari satu kampung ke kampung lain, lama-lama karena pada dasarnya memang punya kemampuan tinggi, masuk radar artis nasional.
Inul dan Soimah sudah kenyang pengalaman sehingga relatif tidak terkena geger budaya karena kenaikan statusnya berlangsung setahap demi setahap.Â
Bukannya dari ajang pencarian bakat tidak ada melahirkan penyanyi profesional yang berhasil. Tapi, mohon maaf, tanpa bermaksud diskriminatif, biasanya yang berhasil ini bukan datang dari kalangan bawah yang terkena geger budaya di bawah gemerlapnya sorot kamera.
Yang berhasil ini biasanya amat sadar bahwa sekadar gelar dari ajang pencarian bakat belumlah cukup, sehingga ia tidak berpuas diri, namun terus mengasah kemampuan, memupuk kreativitas, dan aktif bekerja sama dengan berbagai pihak yang bisa mempromosikannya. Kunto Aji dan Fatin Shidqia Lubis, adalah dua contoh lulusan ajang pencarian bakat yang makin berkibar saat ini.
Tentu berbeda dengan Upiak Isil, penyanyi asal Padang yang tiba-tiba lagunya "Tak Tuntuang" disukai banyak orang yang melihat melalui kanal YouTube. Upiak pun sempat menghias layar kaca selama satu sampai dua bulan. Namun karena hanya satu lagu itu saja yang diulang-ulang, pastilah orang cepat bosan. Sekarang Upiak sudah tidak terdengar lagi beritanya.
Dulu, seorang polisi di Gorontalo berpangkat Briptu, namanya Norman Kamaru, mendadak terkenal karena bergoyang ala India mengikuti lagu "chaiya....chaiya" saat sedang piket. Goyangannya yang iseng-iseng direkam, beredar di dunia maya dan namanya pun seketika meroket.
Setelah itu terpikat dengan iming-iming menjadi artis, Norman meninggalkan dinasnya di kepolisian, dan hijrah ke Jakarta. Meskipun ia sempat tampil beberapa kali di layar kaca, nama Norman cepat tenggelam.
Berita terakhir, Norman berjualan bubur di Kalibata City, Jakarta (tribunnews.com 17/8/2016). Banyak pihak yang menyayangkan, seandainya Norman tetap berdinas di kepolisian, karirnya bisa cepat naik, karena ia sudah dikenal tidak saja oleh Kapolres setempat, tapi sampai Kapolda dan Kapolri.
Bahkan, Norman diikutkan dalam berbagai acara sosialisasi program kepolisian yang perlu diketahui masyarakat luas. Artinya, Polri juga mengakui bahwa potensi Norman yang "ngartis" itu bisa membantu kelancaran di bidang kehumasan.
Tapi, ya sudahlah, nasi sudah jadi bubur, dan faktanya Norman jadi penjual bubur. It's okey. Toh, yang penting halal. Namun kalau melenceng jadi pelaku kriminal, ini namanya sudah kelewat batas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H