Padahal bagi mereka yang ekonominya biasa-biasanya, baru memasak dengan banyak daging, santan, dan cabe tersebut di hari-hari tertentu saja, seperti kalau lagi ada acara kumpul-kumpul.Â
Justru, menu sehari-hari di rumah saya saat kecil ya seperti di warteg itu, makan tempe atau tahu goreng balado, pergedel, telur dadar, sayur dan kerupuk.Â
Saya yakin kalau warteg berekspansi ke Sumatera Barat akan diterima baik, karena harganya lebih murah ketimbang rumah makan Padang yang berukuran kecil sekalipun, dan cocok di lidah.Â
Karena harga murah itulah, di awal saya bekerja di kawasan Benhil, Jakarta Pusat, saya menjadi pelanggan setia sebuah warteg di belakang kantor. Maklum sebagai karyawan baru gajinya pas-pasan.Â
Namun, setelah saya terkena tipus dua tahun kemudian, saya mulai "menjaga jarak" dengan warteg. Mohon maaf kalau saya menyimpulkan warteg di tempat saya sebelumnya biasa makan siang, kurang higienis karena sistem mencuci piringnya yang ditumpuk di satu ember air, lalu saat disajikan ke pelanggan berikutnya piring tersebut masih basah.
Tapi setelah membaca Kompas di atas, sepertinya saya terkena CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali). Di samping Kharisma Bahari, Kompas juga memberi contoh beberapa warteg yang pelanggannya banyak juga dari kelas menengah, yakni Warteg Nojo Jaya di belakang kompleks perkantoran WTC Jalan Sudirman dan Warteg Warmo di Tebet. Ada pula warteg yang lebih berkelas dengan tampilan yang mirip restoran, seperti Di Warteg Kemang, dan Warteg Hitz Lebak Bulus.Â
Betul, warteg memang kagak ade matinye. Di sini pelanggan betul-betul bebas untuk semata-mata menikmati makanan sampai kenyang, tanpa perlu pendingin udara, tanpa perlu wi-fi, tanpa perlu foto-foto dan main gadget, dengan menu yang Indonesia banget.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H