Tan Malaka, menurut banyak sejarawan, pantas untuk disebut sebagai Bapak Republik Indonesia, karena jauh sebelum republik ini lahir, Tan Malaka telah menulis dalam brosur yang berisikan tulisannya sendiri yang berjudul "Naar de Republiek Indonesia" (Menuju Republik Indonesia) di tahun 1925.
Saat itu, pemuda kelahiran Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, ini baru berusia 28 tahun, dan dalam pelarian alias orang bawah tanah karena berstatus buronan politik. Namun ia masih bisa menuliskan gagasannya tentang bentuk negara di nusantara yang akan lahir, jauh sebelum Soekarno-Hatta menggunakan istilah tersebut.
Perjuangan Tan Malaka memang amat berliku dan dramatis. Sebagaimana yang diungkap dalam acara televisi Mata Najwa, 17 Juli 2017.Â
Tan Malaka adalah sosok yang diburu oleh polisi rahasia dari 11 negara di 2 benua, dan pernah dibui 13 kali. Selama hidupnya 51 tahun 8 bulan, 20 tahun dihabiskannya dalam pelarian dan memiliki 23 nama samaran.
Namun justru karena itu pula Tan Malaka mampu berganti-ganti profesi sambil menyamar. Tak kurang dari dari sejumlah pekerjaan telah dilakoninya, mulai dari guru, penulis lepas, kerani, mandor, hingga tukang jahit. Hal ini ditunjang pula oleh penguasaan bahasanya yang mampu berbahasa Belanda, Inggris, Rusia, Jerman, Tagalog, Mandarin, di samping tentu saja bahasa Indonesia dan Minang.
Dalam buku "Autobiografi Tan Malaka, dari Penjara ke Penjara" Tan Malaka menulis bahwa ia pernah dipenjarakan penjajah Belanda di Bandung, Semarang, dan Jakarta. Penjara di Manila, Hongkong, dan  Tiongkok juga dirasakannya karena dianggap musuh oleh imperialis yang menguasai negara-negara tersebut. Namun penderitaan di penjara tidak pernah menyurutkan semangatnya untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Tentang semangat tersebut, dari remaja memang sudah menggelora. Di usia 16 tahun ia sudah melanjutkan pendidikannya di Belanda, tempat ia berkenalan dengan politik, sosialisme, dan komunisme. Kebenciannya terhadap Belanda bergejolak setelah mempelajari politik.
Setelah 6 tahun  mengenyam pendidikan di Belanda, ia menjadi guru di perkebunan Deli, Sumatera Utara. Kemudian Tan Malaka pindah ke Semarang, aktif di organisasi Sarekat Islam yang dipimpin Tjokroaminoto. Di Semarang, Tan mendirikan sekolah atas bantuan Darsono, tokoh Sarekat Islam Merah (pecahan Sarekat Islam).
Maka sejak itulah kisah Tan Malaka menjadi musuh besar Belanda. Tan Malaka yang hidup membujang sampai akhir hayat, ironisnya juga ditangkap pada saat Indonesia sudah merdeka, Maret 1946, karena ia menolak perundingan membuat negara persemakmuran. Tan Malaka berkeinginan agar Indonesia merdeka 100%.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam acara Mata Najwa tersebut, hubungan Tan Malaka dengan Sukarno tidak berkonflik, hanya berbeda pendapat saja. Tan ingin Belanda mengakui dulu kemerdekaan Indonesia sepenuhnya, baru berunding.
Sedangkan Fadli Zon, wakil ketua DPR, masih di acara Mata Najwa mengatakan bahwa karena pemahaman sejarah yang kurang, Tan Malaka hanya dipandang dari satu sisi, yakni sebagai komunis.Â