Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saling Menghargai dalam Menyikapi "Hijrah"

9 Juli 2018   17:53 Diperbarui: 10 Juli 2018   00:22 2332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi saya yakin si teman tidak akan menganggap ia salah dalam mengambil keputusan. Justru kegagalan bisnis dan perceraian dengan istri, dianggap sebagai ujian dalam konsistensi berhijrah. Mungkin ia berpikir, apalah arti kenikmatan dunia yang fana ini, dibanding kebenaran hakiki yang amat diyakininya.

Kebenaran hakiki? Mohon maaf saya tak ingin berpolemik tentang hal ini. Pengetahuan dan pengalaman saya masih cetek dan tidak siap untuk adu argumen. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa gambaran dari contoh di atas, sekarang semakin bertambah, meskipun jarang terungkap ke permukaan. 

Faktanya, sampai sekarang sikap seseorang terhadap perbankan masih beragam. Bank-bank besar yang beroperasi secara konvensional (memberikan bunga kepada penyimpan dan mengenakan bunga pada peminjam) semuanya punya kegiatan kerohanian. 

Mereka mendatangkan penceramah agama pada waktu tertentu, dan si penceramah tak pernah keberatan saat diberikan honor yang bisa saja berasal dari sebagian keuntungan bank.

Bank-bank itu juga rutin menyelenggarakan khitanan massal, buka puasa bersama dengan ribuan anak yatim dari berbagai panti asuhan dan sekaligus memberikan santunan. 

Proposal permintaan dana untuk pembangunan masjid, madrasah, dan sebagainya, banyak ditujukan ke bank tersebut, karena di bank memang ada ada anggaran untuk program corporate social responsibilities.

Kelompok yang netral terhadap bank boleh jadi melihat bahwa bank menerapkan prinsip win-win dengan nasabahnya. Makanya banyak kita dengar pengusaha kecil yang usahanya semakin berkembang setelah mendapat fasilitas kredit dari bank. Jadi tidak terlihat satu pihak "menghisap" pihak lain.

Namun tentu kita harus pula menghargai kelompok lain yang lebih "keras" yang bahkan berpendapat bahwa bank berlabel syariah pun harus ditinggalkan. Kelompok ini melihat bank syariah hanya sekadar label, mengganti istilah dengan memakai bahasa Arab, namun pada praktiknya tidak jauh berbeda dengan bank konvensional.

Baik, hanya itu yang saya angkat, dan sekali lagi tidak bermaksud berpolemik. Poin saya adalah atas perbedaan sikap kita terhadap hal di atas, marilah kita saling menghargai, dan bukan saling memaksakan suatu pendapat. 

Silakan memilih jalan yang kita yakini benar. Yang penting jangan taklid (mengikuti pendapat seseorang tanpa memahami sumber dan alasannya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun