Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Anak Pemecah Batu Saat Dilantik Jadi Polisi

9 Maret 2018   22:17 Diperbarui: 9 Maret 2018   22:25 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Bripda Asrul (20 tahun) yang mencium kaki ayahnya, menghiasi laman Kompas.com, Jumat (9/3). Ceritanya, baik Asrul maupun ayahnya yang berprofesi sebagai pemecah batu, sangat berbahagia karena keberhasilan Asrul mewujudkan mimpinya untuk menjadi polisi.

Foto itu diambil seusai Asrul dilantik sebagai anggota Polri pada hari Selasa (6/3). Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Asrul dan juga ayahnya berkisah bahwa kalau harus mengandalkan uang "pelicin", maka jelas mereka tidak punya, dan tidak bakal  lulus seleksi memasuki Sekolah Calon Bintara (Secaba) di Sulawesi Selatan, tempat mereka bermukim. 

Tapi ibu dari Asrul rajin berdoa dengan membaca surat Al-Fatihah seribu kali. Alhamdulillah,  doa tersebut dikabulkan Tuhan, sehingga sebagai perwujudan rasa syukur dan sekaligus penghormatan pada orang tua, mucullah adegan cium kaki di atas.

Namun, dari kisah tersebut, secara tidak langsung bisa ditafsirkan bahwa persepsi tentang perlunya memberikan sejumlah uang sebagai "pelicin" dalam seleksi penerimaan anggota Polri, seperti juga dalam penerimaan pegawai negeri, ternyata cukup bergaung. Tentu hal ini sangat meresahkan bagi masyarakat yang tergolong miskin, seolah-olah anak mereka akan "melestarikan" kemiskinan itu karena dipersulit untuk bisa naik "kasta".

Maka dengan keberhasilan Asrul di atas, dan juga "Asrul" lain yang luput dari pemberitaan, membuktikan bahwa pencatuman "tidak dipungut biaya apapun" dalam pengumuman penerimaan pegawai, bukan sekadar pemanis saja.

Soalnya, sebagian orang ada yang skeptis dan sinis dengan berkata percuma saja ikut seleksi bila tidak dibantu orang dalam. Akibatnya yang tidak punya uang setengah hati untuk berjuang, padahal mungkin punya kemampuan dari sisi pengetahuan dan ketrampilan.

Sedangkan yang punya uang sibuk kasak-kusuk mencari orang dalam yang bisa diajak berkolaborasi. Selain itu ada pula oknum yang menangguk di air keruh, dengan mengaku punya akses ke panitia seleksi atau ke pejabat tinggi di instansi yang membuka lowongan, dengan meminta imbalan tertentu.

Nah, bila proses seleksi bisa dijamin secara obyektif, maka ada beberapa keuntungan yang akan tercipta. Pertama, peserta seleksi akan mempersiapkan diri sebaik mungkin, bukan menyiapkan fulus, karena yang diterima pastilah calon yang berkualitas sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. 

Kedua, bibit-bibit muda yang bernas akan menjadi modal untuk terbangunnya aparat negara yang lebih baik di masa depan. Mereka yang diterima secara bersih diharapkan tidak tergoda untuk korup.

Ketiga, tudingan sebagian masyarakat bahwa yang diterima pasti "main uang" lama-lama akan hilang. Persepsi positif dalam seleksi penerimaan pegawai harus dibangun antara lain dengan memerbanyak testimoni dari mereka yang berhasil tanpa menyogok.

Keempat, dengan pemahaman masyarakat yang makin baik, akan  bisa mengikis keberadaan para calo yang menyasar mangsanya. Dalam beberapa kasus, si calo sebetulnya bertindak spekulatif saja. Bila si calon yang menjadi kliennya berhasil lulus, seolah-olah karena lobinya ke pejabat. Kalau si calon gagal, ia berdalih karena uang sogokan kurang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun