Baru-baru ini, saat kembali ke Jakarta dari Bandung, saya berencana lewat Puncak. Pikiran saya kalau lewat tol pasti macet karena arus balik setelah libur Imlek di Minggu sore (18/2). Maka saya pun melewati Padalarang dan Cianjur, untuk seterusnya ke Puncak, Bogor, dan Jakarta.Â
Namun, saat mengisi bahan bakar di Cianjur, saya dapat informasi bahwa jalur Cianjur - Puncak masih ditutup menyusul bencana longsor yang menelan korban jiwa dua minggu sebelumnya. Tadinya saya menganggap tidak butuh demikian lama untuk menormalkan kembali jalan raya Puncak. Alhasil, tak ada jalan lain, saya harus melewati jalur alternatif, lewat Jonggol, yang nantinya tembus ke Cibubur dan Jakarta.
Kenapa Jonggol? Pertimbangannya karena di situ masih tersedia lahan yang luas dengan topografi relatif datar, serta lokasi yang tidak jauh dari pusat kota Jakarta, yakni sekitar 60 km.
Makanya tentu saya penasaran untuk mengintip wajah Jonggol setelah gagal sebagai ibu kota negara, dan harus puas "hanya" sebagai salah satu kota kecamatan di Kabupaten Bogor.
Tapi sebelum memasuki Jonggol, mata saya cukup dimanjakan oleh pemandangan yang masih hijau melewati daerah pertanian yang subur. Justru tanpa perlu jalur Puncak diblokir pun, menurut saya jalur Jonggol layak ditempuh, karena secara jarak hanya sedikit lebih jauh dari jalur Puncak, namun dalam kondisi kemacetan di Puncak, maka lewat Jonggol akan lebih cepat.
Perbedaan yang mencolok dengan jalur Puncak, hanyalah belum banyaknya rumah makan di pinggir jalan. Apalagi hotel, wisma, dan villa yang menyesaki Puncak, di Jonggol sangat terbatas keberadaannya. Justru itu, bagi yang ingin suasana yang lebih tenang dan lebih hijau, lebih cocok lewat Jonggol.
Setelah saya sampai di Jonggol, saya berpikir, banyak untungnya Jonggol tidak jadi ibu kota RI. Memang kalau dari pemberitaan media massa, wacana pemindahan ibu kota yang menguat belakangan ini mengarah ke daerah yang jauh dari Jakata, lebih tepatnya ke luar Jawa.
Jadi, membangun perkantoran dan berbagai fasilitas sebagai ibu kota negara di Jonggol, rasanya hanya sekadar memerluas Jakarta, dan sekaligus mengorbankan kapasitas Jonggol sebagai daerah penyangga produksi hasil pertanian.Â
Untung saja Jonggol tidak jadi ibu kota RI, yang berarti memperpanjang "nafas"sebagai daerah agraris. Bahkan bila masyarakat setempat mampu berpikir panjang agar tidak gampang menjual lahan, "nafas" itu bisa bertahan jauh lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang.