Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Untung Saja Jonggol Tak Jadi Ibu Kota RI

22 Februari 2018   19:36 Diperbarui: 23 Februari 2018   08:57 3595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan yang relatif baik (dok pri)

Baru-baru ini, saat kembali ke Jakarta dari Bandung, saya berencana lewat Puncak. Pikiran saya kalau lewat tol pasti macet karena arus balik setelah libur Imlek di Minggu sore (18/2). Maka saya pun melewati Padalarang dan Cianjur, untuk seterusnya ke Puncak, Bogor, dan Jakarta. 

Namun, saat mengisi bahan bakar di Cianjur, saya dapat informasi bahwa jalur Cianjur - Puncak masih ditutup menyusul bencana longsor yang menelan korban jiwa dua minggu sebelumnya. Tadinya saya menganggap tidak butuh demikian lama untuk menormalkan kembali jalan raya Puncak. Alhasil, tak ada jalan lain, saya harus melewati jalur alternatif, lewat Jonggol, yang nantinya tembus ke Cibubur dan Jakarta.

Pemandangan sebelum masuk Jonggol dari Cianjur (dok pribadi)
Pemandangan sebelum masuk Jonggol dari Cianjur (dok pribadi)
Dengan melewati Jonggol saya malah lebih bersemangat. Nama Jonggol ini dulu cukup terkenal karena di era Orde Baru, sekitar awal dekade 90-an, santer disebut akan dijadikan ibu kota RI. Pada waktu itu banyak spekulan tanah yang "bermain" di samping ratusan hektar lahan kabarnya telah dibebaskan oleh perusahaan pengembang.

Kenapa Jonggol? Pertimbangannya karena di situ masih tersedia lahan yang luas dengan topografi relatif datar, serta lokasi yang tidak jauh dari pusat kota Jakarta, yakni sekitar 60 km.

Makanya tentu saya penasaran untuk mengintip wajah Jonggol setelah gagal sebagai ibu kota negara, dan harus puas "hanya" sebagai salah satu kota kecamatan di Kabupaten Bogor.

Tapi sebelum memasuki Jonggol, mata saya cukup dimanjakan oleh pemandangan yang masih hijau melewati daerah pertanian yang subur. Justru tanpa perlu jalur Puncak diblokir pun, menurut saya jalur Jonggol layak ditempuh, karena secara jarak hanya sedikit lebih jauh dari jalur Puncak, namun dalam kondisi kemacetan di Puncak, maka lewat Jonggol akan lebih cepat.

Subur untuk pertanian (dok pri)
Subur untuk pertanian (dok pri)
Kondisi jalannya memang di beberapa bagian agak "keriting", tapi secara umum tergolong baik. Fasilitas pengisian bahan bakar juga tersedia di beberapa lokasi, dan mudah ditemukan setelah melewati 10 sampai 15 km.

Perbedaan yang mencolok dengan jalur Puncak, hanyalah belum banyaknya rumah makan di pinggir jalan. Apalagi hotel, wisma, dan villa yang menyesaki Puncak, di Jonggol sangat terbatas keberadaannya. Justru itu, bagi yang ingin suasana yang lebih tenang dan lebih hijau, lebih cocok lewat Jonggol.

Setelah saya sampai di Jonggol, saya berpikir, banyak untungnya Jonggol tidak jadi ibu kota RI. Memang kalau dari pemberitaan media massa, wacana pemindahan ibu kota yang menguat belakangan ini mengarah ke daerah yang jauh dari Jakata, lebih tepatnya ke luar Jawa.

Jalan yang relatif baik (dok pri)
Jalan yang relatif baik (dok pri)
Bila di Jonggol, sama saja dengan greater Jakarta, masih kawasan Jabodetabek. Ini mirip dengan Putrajaya yang amat dekat dengan Kuala Lumpur di Malaysia. Bukan seperti Karachi yang pindah jauh ke Islamabad di Pakistan, atau Yangon ke Naypyidaw di Myanmar.

Jadi, membangun perkantoran dan berbagai fasilitas sebagai ibu kota negara di Jonggol, rasanya hanya sekadar memerluas Jakarta, dan sekaligus mengorbankan kapasitas Jonggol sebagai daerah penyangga produksi hasil pertanian. 

Rumah makan Padang di jalur Cianjur -Jonggol (dok pri)
Rumah makan Padang di jalur Cianjur -Jonggol (dok pri)
Toh, tanpa menjadi ibu kota negara sekalipun, Jonggol pada akhirnya diprediksi akan "takluk" dan dikuasai pengembang. Sekarang pasar Jonggol memang masih pasar tradisional, tapi tetangga terdekatnya Cileungsi dan Cibubur sudah penuh perumahan dan ruko modern yang menggoda.

Untung saja Jonggol tidak jadi ibu kota RI, yang berarti memperpanjang "nafas"sebagai daerah agraris. Bahkan bila masyarakat setempat mampu berpikir panjang agar tidak gampang menjual lahan, "nafas" itu bisa bertahan jauh lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang.

Salah satu dari amat sedikit hotel di jalur Jonggol-Cianjur (dok pri)
Salah satu dari amat sedikit hotel di jalur Jonggol-Cianjur (dok pri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun